Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhanpun mengenalnya sebelum ia mengenal Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah mencapai tujuannya :
"Ia segera bangkit dan menaruhku di hadapan-Nya dan kata-Nya kepadaku : "O Beyazid, makhluk-makhlukku sangat ingin memandangmu, dan aku pun berkata: Hiasi hamba dengan kesatuan-Mu dan dandani hamba dengan ke- AKU-an Mu dan angkatlah hamba ke Keesaan-Mu sehingga, kalau makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah menyaksikan-Mu, dan Kaulah itu dan hamba tidak lagi berada di hadapan mereka itu."
Beyazid, dalam keadaan ekstase (fana ) berkata : "Subhani, Subhani - Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha Suci Aku." Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki bagi kaum mistik pada zaman kemudian dan telah sering menjadi inspirasi bagi penyair mistik dalam menggambarkan kesempurnaan perjalanan kerohanian seseorang, disamping banyak sekali orang yang mengecam dan mengkafirkan Beyazid. Sebagian kalangan sufi moderat, yaitu Sarraj mengganggap perkataan Beyazid seolah-olah membaca sabda dalam Qur'an "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain AKU, Innani Ana 'Allah, laailaha illa Ana (QS. Taha:14)."
Beyazid mencapai keadaan ini melalui 'negationis' yang gigih, dengan menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai ia mencapai - walaupun hanya sesaat-, keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih, dan cinta menjadi
satu. Kenyataan yang dialami Beyazid di kritik oleh Mansur Al Hallaj yang berkata, bahwa Abu Yazid yang merana itu baru sampai diambang ilahi saja, karena ia tidak mampu melepaskan dirinya dari ketiadaan.
Para sarjana Barat banyak yang tertarik dengan ajaran Al hallaj karena dianggap bisa mewakili kelangsungan kebenaran ajaran kristus didalam penyatuan dengan Allah atau pantheisme. Seorang sarjana ahli teologi protestan dari Jerman bernama F.A.D. Tholuck menyebut Al hallaj adalah sufi yang paling terkenal karena ketenarannya dan nasibnya, yang menguak cadar di depan umum dengan keberaniannya yang luar biasa. Kutipan Tholuck pada waktu itu dieja dan ditafsirkan keliru sehingga citra Hallaj sungguh menjadi rusak pada zaman-zaman berikutnya. ( Friedrich August Deofidus Tholuck, Sufismus sive theosophia persarum pantheistica , Berlin, 1972 hlm 68. dalam buku dimensi mistik dalam Islam, annemarie schimmel hlm 64 ) Tholuck menganggap Al Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke 19. Mereka telah menemukan beberapa naskah dalam kitab- kitab yang ditulis oleh Al Hallaj yang menunjukkan arah kepada pantheisme.
Pandangan lain adalah ada yang menganggap Al Hallaj sebagai seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir itu muncul pada akhir abad ke 19, diajukan August Muller dan tetap di ikuti oleh beberapa sarjana. Para orietalis lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada , cenderung menyebutnya seorang 'monism' murni. Alfred von Kremer berusaha mencari sumber Hallaj yang terkenal Anal Haqq dalam sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan aham brahmasmi dalam upanishad , dan beberapa sarjana lain menyetujuinya.
Reynold A Nicholson mempunyai pandangan, bahwa Mansur Al Hallaj menekankan monotheisme keras dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung itu dengan teologi Kristen.
Louis Massignon telah berhasil mengumpulkan data-data tentang Al Hallaj dari lingkungan tempat dia berasal dan pengaruh-pengaruh atas Hallaj telah dijelajahi, sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak paradoks yang tersimpan didalamnya, kecuali oleh orang yang memiliki kecerdasan kerohanian yang tinggi. Ajaran yang ditulis dalam buku tersebut berbentuk sajak, mengungkapkan keagungan Tuhan dan imanensi-Nya dalam hati manusia. Rahasia penyatuan cinta dipuja dalam sajak-sajak yang bebas dari segala lambang cinta
'profane'. Massignon menyelidiki dunia rohani Al Hallaj secara terus-menerus, menambahkan hal-hal kecil dalam catatannya, dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah biografi monumental syuhada mistik tersebut pada tahun 1922; seribu tahun setelah hukuman mati terhadap Al hallaj. Nyatanya, Hallaj seperti yang dikatakan Hans Heinrich Schaender dalam resensinya atas buku Massignon, adalah syuhada Islam par exelence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari keshalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan akibat cinta sempurna dan makna mendapatkan kesucian pribadi macam apapun, akan tetapi agar bisa mengabarkan rahasia ini, harus hidup di dalamnya dan mati untuknya. Seperti pengorbanan Yesus Kristus dalam penebusan dosa ummatnya.
Siapakah orang ini sebenarnya, yang telah menjadi bahan kebencian dan cinta, contoh penderitaan, raja bid'ah dalam tulisan-tulisan ortodoks (salafi), tokoh idaman para sufi yang terpesona ??
Fana bukan Pantheisme
Kesimpulan yang diungkapkan oleh para sarjana Barat (Orientalis), bahwa ajaran Al hallaj adalah phanteisme, masih mengundang pertanyaan yang belum tuntas. Para peneliti itu memaparkan ajaran Al hallaj melalui data-data dalam prosa, bukan melalui perjalanan ekstasisnya, dan kemudian membandingkan dengan ajaran trinitas dalam Kristen atau dalam kesatuan aham brahmasmi dalam upanishad. Saya menganggap kesimpulan ini hanyalah merupakan cara mereka untuk meminjam peristiwa yang terjadi agar sama persis dengan eksekusi yang dilakukan terhadap Yesus Kristus. Hal ini terlihat sekali dalam uraian Louis Massignon sendiri, yang masih banyak melibatkan emosi kepercayaannya (doktrin keimanan) sebagai orang kristen, dan bukan sebagai peneliti murni, sehingga kesimpulannya sangat mempengaruhi hasil penelitiannya.
Ungkapan-ungkapan Al Hallaj dalam prosa tidak bisa disimpulkan dalam bahasa formal, karena ungkapan itu merupakan pengalaman 'transcendental'. Sebagaimana ayat-ayat Al- Qur'an sering menggunakan kalimat mutasyabihat untuk mengungkapkan kedalaman makna hakikat, ketika bahasa manusia tidak lagi mampu mengungkap rahasia. Didalam kitab At Tawasin termuat anekdot sufi yang pada akhirnya menghebohkan dunia, yaitu pernyataan Al Hallaj yang kontroversial.
Ketika ia mengetuk pintu Junayd, sang Guru bertanya : Siapakah itu ? dan ia menjawab : Ana 'l Haqq - Akulah kebenaran Mutlak (kreatif), Akulah kenyataan Yang benar.
Pada bab itu Al Hallaj menjelaskan mengenai kesadaran Aku Yang Mutlak dibandingkan dengan kesadaran yang diucapkan Fir'aun dan Iblis. Menurut Al- Qur'an, Fir'aun menegaskan, Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi (Surat An Naziat:
24), dan Iblis berkata, " Aku lebih baik daripada Adam (Surat Al A'raaf: 12). Kemudian Al Hallaj menegaskan pernyataannya, Akulah Kebenaran Mutlak".
Pada bagian ini para sufi merenungkan mengenai ke-Aku-an dirinya, tatkala ia menafikan segala sesuatu, yang wajib ada ialah AKU, ketika merenungkan ayat kullu syaiin halikun illa wajhahu, segala sesuatu pada hakikatnya tidak ada (binasa) kecuali wujud-Nya yang kekal. Para mistisi merenungkan dalam-dalam perkara adanya dua Aku yang berbeda, yakni Aku Fir'aun dan Aku ahli mistik yang
bercinta. Kesimpulannya diberikan dalam wahyu ilahi bahwa, Fir'aun hanya melihat dirinya sendiri dan kehilangan AKU, sedangkan Husain hanya melihat AKU sehingga kehilangan dirinya sendiri. Aku penguasa Mesir itu ( Fir'aun) merupakan pernyataan kekafiran, sedangkan Aku Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan. inilah alasan Al Hallaj mengapa ia berkata Akulah kebenaran.
Apapun alasan pernyataan Ana'l Haqq itu, Junayd -salah seorang guru Al Hallaj- telah menyatakan sikapnya terhadap bekas pengikutnya tersebut, dengan menuduh telah menyebarluaskan pernyataan religius yang berbahaya.
Disisi lain, Al Hallaj mempunyai pandangan lain dari pernyataan Beyazid yang juga menyatakan AKU pada kalimat "Maha Suci Aku" (Subhani), dan menganggap Beyazid sebagai orang yang menipu, karena dia baru berada diambang ilahiyah saja
. Beyazid tidak layak mengucapkan kalimat suci tersebut, karena ia masih ada dan merasakan keadaan mabok mistik (syakr), ia belum lenyap (fana). Hal inipun diakuinya sendiri oleh Beyazid : Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya sama sekali itu hanyalah tipuan hayalan belaka.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Mathnawi, Rumi mengisahkan legenda tentang pengikut-pengikut Beyazid yang memberontak gurunya ketika si guru itu berkata : Dibalik jubahku ini tak ada apapun selain Allah !!
Terlebih dahulu marilah kita mencoba untuk memahami maksud ketiadaan (fana), sehingga memahami mengapa Al Hallaj begitu yakin, bahwa Beyazid belum sampai kepada taraf tertinggi.
Seorang sufi besar Abu Bakar al Kharraz ( 899 M ) dikenal di Barat lewat karyanya " kitab As-Sidq" - kitab kebenaran, yang diterjemahkan oleh Arberry. (Abu Bakr al Kharraz, kitab as sidq, the book of Truthfulness, diedit dan diterjemahkan oleh A.J . Arberry (Oxford, 1937) mengungkapkan bahwa hanya Allah yang berhak berkata " AKU", sebab siapapun yang mengatakan " Aku" tak akan bisa mencapai taraf makrifat. Itulah sebabnya iblis dihukum, karena berkata ' Aku lebih baik dari Adam ". Lebih jauh Kharraz menunjukkan bahwa " Aku" ilahy ini secara ontologis terkait dengan Nama Ilahi Al Haqq; "Kenyataan" inilah tampaknya yang menjadi inti ungkapan terkenal Hallaj Ana 'l Haqq.
Apakah Al Hallaj benar-benar mengungkapkan Ana 'l Haqq pada saat keadaan ekstase (syathathat) atau hanya merupakan pengajaran di dalam Majelis, sebab dalam kritiknya terhadap Beyazid, beliau mengatakan "Kasihan Beyazid, ia merana karena ia tidak mampu meninggalkan dirinya (fana), ia baru sampai di ambang ilahi. Orang yang fana dirinya tidak akan berkata " AKU" sebab ia telah tiada."
Didalam kitab yang berjudul Raitullah "Aku melihat Allah" karya ulama sufi yang terkenal Syekh An nafiri, diungkapkan mengenai Bab " AKU" :
"Tidak akan diucapkan kalimat AKU, kecuali bagi orang yang berkawan dengan kealpaan dan oleh setiap orang terhijab oleh hakikat."
"Engkau berani mengatakan AKU, sedangkan engkau masih terhijab dari pada-KU, gemerlap duniawi masih mengusik nafsumu, masing-masing akan menyambar dirimu dengan seruan zat dirinya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam dari pada-Ku. Maka apabila engkau telah melihat " Aku" dan Aku - pun telah menampakkan diri dihadapanmu, tetaplah keteguhanmu, maka tiada Aku lagi melainkan AKU." (diri manusia akan hancur atau binasa, sebagaimana peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa surah Al A'raaf: 143 ).
"Telah Kuciptakan (kuadakan) untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara lain tujuan itu ialah, cintamu kepada dirimu sendiri, itulah tetesan waham (kalimat) yang engkau warisi, kata-kata mu " Aku" adalah egomu sendiri (Aku terlepas anggapan dari yang demikian) dan tidak lain zat itu melainkan kepunyaan-Ku, dan tidak lain Aku itu kecuali untuk-Ku, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat prasangka, hal ini disebabkan karena caramu sendiri berfikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa dan persoalan."
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah
dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran Al Hallaj :
Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau ke utara, keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa mejelajah ke Mekkah dan Madinah."
Menurut Siti Jennar selanjutnya, "Dirinya bukanlah budi, bukan angan-angan hati, bukan pula fikiran yang sadar, niat, udara, angin, panas, atau kekosongan dan kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah, yang membusuk bercampur tanah dan debu. Nafasnyalah yang mengililingi dunia, meresap dalam tanah, api, air dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru dan bukan yang asli. Hakikat dirinya dipandangnya sebagai dzat yang sejiwa dan menyuksma di dalam Hyang Widi."
Bagi Siti Jennar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat Jalal dan Jamal yaitu Maha Mulia dan Maha Indah. Siti Jennar tidak mau mengerjakan shalat karena kehendaknya sendiri, karena itu ia juga tidak memerintahkan siapapun untuk shalat, baginya orang shalat karena budhinya sendiri yang memerintahkan shalat. Namun budi itu juga bisa menjadi budi yang laknat dan mencelakakan, yang tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri.
Inilah yang katakan oleh Al Junayd dan Syekh An Nafiri, bahwa baik Beyazid, Siti Jennar ataupun Al Hallaj (??), telah terhijab oleh dirinya. Tatkala mereka mencari Tuhan di mana, ternyata hanya dirinya yang ada; ketika ia melambung jauh keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada , di atas ada, di bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana ada. Yang ada tetap yang langgeng dan kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj ambang ilahi) bukan fana. Keadaan inilah yang dianggap bersatu (ittihad) atau manunggaling kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran vedanta disebut tat twam asi .
Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat Al Junayd, mengenai pernyataan "Aku" yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau tahu bahwa Al Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa, ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur
(fana) bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya, bahwa AKU tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa
digambarkan oleh presepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri; dalam Alqur'an Musa digambarkan pingsan ) AKU mengenali diri-Nya secara sempurna. Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan kristen, yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.
Al Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai berikut :
"Tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis- habisnya. Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan memutuskan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian."
Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme)
dan manunggal ( pantheisme ) sangatlah berbeda .
Pantheisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Harun Hadiwiyono sebagai berikut:
Bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Zat Mutlak. Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya
(kodok kinemulan ing lenge) Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri :
Sedangkan Fana (monotheisme ) adalah seperti ungkapan Al Junayd :
Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu
(Al Qashash, 28 : 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram ( Ar rahman, 55 : 26-27) Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan), karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tak seorangpun dapat meraihnya, nabi-nabipun tidak
(termasuk Nabi Musa). Para malaikat yang berdiri dekat Allah-pun tidak dapat meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikatnya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada. Hanya Dialah Yang Ada dan nama-Nya ialah wujud makal, zat langgeng, hakikat segala hakikat, adanya ialah kesepian (kosong). Siapakah gerangan yang tahu akan tahap ini. ??? Barang siapa mengatakan mengetahui zat yang sejati, dia telah tersesat .
Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan
dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun Nabi Musa, maka ia berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya : uqtuluni ya thiqati - inna qatli hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku.
Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo yang memenggal kepalanya.
Didalam kitab Jati Murti diuraikan mengenai kenyataan (hakikat) yang tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (laisa kamistlihi syaiun, surah Asy syura, 42 : 11). Sebagai berikut :
Kesejatian itu sangat luas, tidak bisa di kira-kira besar luasnya, tidak bisa dicapai di dalam hati, tidak bisa ditemui diseluruh jagad raya, sebab didalam kesejatian
(hakikat) mempunyai arah yang disebut lahir dan bathin. Segala alam (jirim) berada disisi luar kesejatian (hakikat), yaitu diantara lahir dan bathin, itu arah yang tidak bisa direka-reka oleh pikiran dan perasaan manusia.
Karena kesejatian (hakikat) itu bersemayam dalam bathinnya alam atau badan yang berada dialam, maka kesejatian tidak membutuhkan alam untuk bersemayam, malahan berada dalam segala trmpat (berada di mana-mana), seperti keberadaannya benda terhadap permukaan, atau seperti keberadaannya permukaan terhadap garis. Jadi seandainya keadaan hakikat dibentengi besi yang amat rapat, seperti halnya tempurung kemiri, tetap masih lebih luas (leluasa) sekali serta tidak berpengaruh apapun.
Ibarat orang menggambar seekor kuda dengan sebuah pensil. Bentuk seekor kuda yang dikelilingi dengan goresan (garis) bekas pensil, seperti tampaknya pensil tadi yang berada di kulit kuda.
Kesejatian tidak terpengaruh sama sekali, sebab bukan benda. Yang bersemayam dalam kesejatian, yaitu : Saya, maksudnya : Pribadi = AKU, Innani Ana Allah, laailaha illa ANA, sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali AKU, berada berjajar dengan segala kejadian, yaitu yang diakui oleh makhluk seisi alam semesta, tempat bergantungnya segala sesuatu (Allahush shamad ), rabbul `alamin, Rabb alam semesta.
Sesungguhnya keadaan hakikat (sejati ) tidak bisa diperbandingkan dengan segala sesuatu yang ada pada keadaan alam-alam, sebab bukan tandingannya. Jika memaksakan untuk membayangkan, maka ibarat batu dibandingkan dengan warna yang ada pada permukaan batu tersebut, atau seperti satu meter persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu perasaan manusia (sarana yang dipakai untuk membayangkan atau mengukur) bukanlah rasa yang sejati. Jika perasaan manusia dibandingkan dengan perasaan sejati (keadaan hakikat), kejadiannya seperti halnya warna yang ada pada permukaan, sebuah benda dibandingkan dengan benda yang menyatu yang memiliki permukaan tadi. atau dapat diumpamakan seperti halnya wayang yang sedang dimainkan oleh dalang,
dibandingkan dengan dalang yang sedang menjalankan wayang tersebut. Menurut dalang : Perilaku wayang itu pada hakikatnya tidak ada, yang ada adalah perilaku si dalang tersebut, tanpa ada perbandingan (tandingan).
Sebagaimana firman Allah:
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah- lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al Anfaal, 8:17 ) Pendek kata manusia sebenarnya hanya "diam"(fana). Diamnya dapat diumpamakan : Salah satu perilaku wayang berhenti, tidak dimainkan lagi oleh dalang, maka
yang ada tinggal perilaku dalang, si wayang tidak tahu apa-apa lagi, penglihatannya tidak ada, pendengarannya tidak ada, perasaannya tidak ada, kekuatannya tidak ada, hidupnya tidak ada, kesadarannya tidak ada, maka dirinyapun tidak ada seperti pada mulanya sebelum diciptakan. Sekarang si wayang tidak tahu apa-apa, yang tahu adalah tinggal AKU yang sejati yang meliputi segala sesuatu. Si wayang kembali kepada asal muasalnya, yaitu dari tidak ada menjadi ada lalu tidak ada, inilah hakikat innalillahi wainna ilaihi rajiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali. Jadi manusia hanya diam saja (lenyap tanpa memiliki presepsi apa-apa) itulah layaknya manusia yang masuk kedalam kesejatian
(hakikat), dan masuknya kealam kesejatian melalui proses penyucian dari anggapan
( dhzan, presepsi), artinya Allah suci dari anggapan pikiran dan rekayasa hati manusia (dhzan); suci dan hilangnya sifat kemanusiaan oleh kekuatan yang menganggap dengan I'tikat yang kuat, ia menganggap kekuatan itu adalah dirinya sendiri; akan tetapi semuanya itu milik Allah dan harus kembali kepada-Nya.
Bukan manuggaling kawula Gusti seperti anggapan Siti Jennar, yang terpengaruh oleh ajaran Vedanta, yang mendorong ke perluasan Atman "inti diri", sampai si inti diri itu menyadari kesatuannya dengan hakikat segala sesuatu seperti yang dinyatakan dalam ungkapan tat twam asi, itulah engkau !!
Karena hakikat itu tidak bisa dibandingkan dengan apa-apa (alam yang bukan sejati), maka keadaannya tidak ada perbandingan seperti suka dan duka, senang dan benci, bosan dan betah. Karena tanpa pemilahan, maka tidak ada hitungan dan bilangan.Yang dimaksud dengan istilah tanpa hitungan maknanya ialah : Tidak ada jumlahnya, karena jika dikatakan satu maka satu itu membutuhkan tandingan adanya dua, tiga , empat dan seterusnya. Memang kebiasaan kita menyebut dia itu Tunggal (satu), tetapi bukan berarti satu seperti penyebutan untuk sebuah benda, satu jeruk, satu mobil. Untuk jelasnya, maka penyebutannya seharusnya sebagai berikut : tidak ada apa-apa kecuali hanya ada: "Pribadi".
Bobotnya sudah disebut demikian, maksudnya adalah : tidak ada apa-apa kecuali hanya - walaupun menurut alam jirim bukanlah suatu hal yang aneh, namun menurut keadaan hakiki hal tersebut menjadi aneh. Anehnya adalah mengapa mesti diomongkan sebagai : Tidak ada apa-apa kecuali ….. apa sebabnya ?? itu ibarat orang berkata : air itu tidak ada yang bukan air, atau jagad segala jagad ya tetap segala jagad .
Oleh karena tidak ada pemilahan dan bilangan, maka maksud istilah "gusti dan kawula berada dalam keadaan sejati" juga menjadi aneh. Anehnya kenapa ada perbandingan , yaitu kawula dibandingkan dengan gusti, seperti halnya kuda dibandingkan dengan warnanya, atau gelang dibandingkan dengan emas yang dipakai untuk membuat gelang tersebut. Warna itu ya warna kuda, bukan semestinya dibandingkan dengan yang memiliki warna tersebut, sebab warna itu
tidak akan ada (tampak ) kalau tidak ada kuda (yang memiliki warna), bukan wujud yang sebenarnya, akan tetapi wujud yang sebenarnya adalah kuda itu sendiri. Gelang itu terbuat dari emas, gelang dengan emas itu berbeda, gelang merupakan kejadian yang terbuat dari emas. Emas merupakan wujud yang sebenarnya, sedangkan gelang adalah kejadian (ciptaan) yang tetap tergantung kepada bahan emas tadi, sehingga gelang itu diliputi oleh emas