PENEGASAN PATRAP PERTAMA part3


Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhanpun mengenalnya sebelum ia mengenal Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah mencapai tujuannya :



"Ia segera  bangkit dan menaruhku  di hadapan-Nya dan kata-Nya kepadaku  : "O Beyazid, makhluk-makhlukku sangat ingin  memandangmu,  dan  aku pun berkata: Hiasi hamba dengan kesatuan-Mu dan dandani hamba dengan ke- AKU-an Mu dan angkatlah    hamba    ke    Keesaan-Mu    sehingga,    kalau    makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah menyaksikan-Mu, dan Kaulah itu dan hamba tidak lagi berada di hadapan mereka itu."



Beyazid, dalam keadaan ekstase (fana ) berkata : "Subhani, Subhani - Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha Suci Aku." Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki bagi kaum mistik pada zaman kemudian  dan telah sering menjadi inspirasi bagi penyair   mistik   dalam   menggambarkan   kesempurnaan   perjalanan   kerohanian seseorang,  disamping  banyak  sekali  orang  yang  mengecam  dan  mengkafirkan Beyazid. Sebagian kalangan sufi moderat,  yaitu Sarraj mengganggap perkataan Beyazid seolah-olah membaca sabda dalam  Qur'an "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,  tidak  ada  Tuhan  selain  AKU,  Innani  Ana  'Allah,  laailaha  illa  Ana  (QS. Taha:14)."



Beyazid   mencapai   keadaan    ini   melalui   'negationis'   yang   gigih,   dengan menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai  ia mencapai - walaupun  hanya sesaat-, keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih, dan cinta menjadi

satu. Kenyataan yang dialami Beyazid di kritik oleh Mansur Al Hallaj yang berkata, bahwa Abu Yazid yang merana itu baru sampai diambang ilahi saja, karena ia tidak mampu melepaskan dirinya dari ketiadaan.



Para sarjana Barat banyak yang tertarik  dengan ajaran Al hallaj karena dianggap bisa mewakili kelangsungan  kebenaran ajaran kristus  didalam penyatuan dengan Allah atau pantheisme. Seorang sarjana ahli teologi protestan dari Jerman bernama F.A.D.   Tholuck  menyebut  Al   hallaj  adalah  sufi  yang  paling  terkenal  karena ketenarannya  dan   nasibnya,  yang  menguak  cadar  di  depan  umum  dengan keberaniannya yang luar biasa. Kutipan Tholuck pada waktu itu dieja dan ditafsirkan keliru sehingga citra Hallaj sungguh menjadi rusak pada zaman-zaman berikutnya. ( Friedrich August Deofidus Tholuck, Sufismus sive theosophia persarum pantheistica , Berlin, 1972 hlm 68. dalam buku dimensi mistik dalam Islam, annemarie schimmel hlm 64 ) Tholuck menganggap Al Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke 19. Mereka telah menemukan beberapa naskah dalam kitab- kitab yang ditulis oleh Al Hallaj yang menunjukkan arah kepada pantheisme.



Pandangan lain adalah ada yang menganggap Al Hallaj sebagai  seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir itu  muncul pada akhir abad ke 19, diajukan August Muller dan tetap di  ikuti oleh beberapa sarjana. Para orietalis  lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada , cenderung menyebutnya seorang 'monism' murni. Alfred von  Kremer  berusaha  mencari  sumber  Hallaj  yang  terkenal  Anal  Haqq  dalam sumber-sumber  India,  dan  Max  Horten  membandingkan  pernyataan  mistik  itu dengan   aham   brahmasmi   dalam   upanishad   ,   dan   beberapa   sarjana   lain menyetujuinya.



Reynold A Nicholson mempunyai pandangan, bahwa Mansur Al Hallaj menekankan monotheisme keras dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung itu dengan teologi Kristen.



Louis  Massignon  telah  berhasil  mengumpulkan  data-data  tentang  Al  Hallaj  dari lingkungan tempat dia berasal dan pengaruh-pengaruh atas Hallaj telah dijelajahi, sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak  paradoks yang tersimpan didalamnya, kecuali oleh orang  yang memiliki kecerdasan kerohanian yang   tinggi.   Ajaran   yang   ditulis   dalam   buku   tersebut   berbentuk   sajak, mengungkapkan keagungan Tuhan dan imanensi-Nya dalam hati manusia. Rahasia penyatuan  cinta dipuja dalam sajak-sajak  yang bebas  dari segala lambang cinta

'profane'.  Massignon  menyelidiki  dunia  rohani  Al  Hallaj  secara  terus-menerus, menambahkan hal-hal kecil dalam catatannya, dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah biografi monumental syuhada mistik tersebut pada tahun 1922; seribu tahun setelah hukuman mati terhadap Al hallaj. Nyatanya, Hallaj seperti yang dikatakan Hans Heinrich Schaender dalam resensinya atas buku Massignon, adalah syuhada Islam  par  exelence  karena  ia  merupakan  contoh  kemungkinan-kemungkinan terdalam dari keshalehan pribadi yang ada  dalam agama Islam.  Ia menunjukkan akibat cinta sempurna  dan makna mendapatkan kesucian pribadi macam apapun, akan tetapi agar bisa mengabarkan rahasia ini, harus hidup di dalamnya dan mati untuknya. Seperti pengorbanan Yesus Kristus dalam penebusan dosa ummatnya.

Siapakah orang ini sebenarnya,  yang telah menjadi bahan kebencian dan  cinta, contoh penderitaan, raja bid'ah dalam tulisan-tulisan ortodoks (salafi), tokoh idaman para sufi yang terpesona ??



Fana bukan Pantheisme



Kesimpulan yang diungkapkan oleh para sarjana Barat (Orientalis), bahwa ajaran Al hallaj adalah phanteisme, masih mengundang pertanyaan yang belum tuntas. Para peneliti  itu memaparkan ajaran Al hallaj melalui data-data dalam prosa, bukan melalui  perjalanan  ekstasisnya,  dan  kemudian  membandingkan  dengan  ajaran trinitas dalam Kristen atau dalam kesatuan aham brahmasmi dalam upanishad. Saya menganggap kesimpulan ini hanyalah merupakan cara mereka untuk meminjam peristiwa yang terjadi agar sama persis dengan eksekusi yang dilakukan terhadap Yesus  Kristus. Hal ini terlihat sekali dalam  uraian Louis Massignon sendiri, yang masih banyak melibatkan emosi kepercayaannya (doktrin keimanan) sebagai orang kristen,  dan  bukan   sebagai  peneliti  murni,  sehingga  kesimpulannya  sangat mempengaruhi hasil penelitiannya.



Ungkapan-ungkapan Al Hallaj dalam prosa tidak bisa disimpulkan  dalam bahasa formal, karena ungkapan itu merupakan pengalaman 'transcendental'. Sebagaimana ayat-ayat    Al-    Qur'an    sering    menggunakan    kalimat    mutasyabihat    untuk mengungkapkan  kedalaman  makna  hakikat,  ketika  bahasa  manusia  tidak  lagi mampu mengungkap rahasia. Didalam kitab At Tawasin termuat anekdot sufi yang pada akhirnya menghebohkan dunia, yaitu pernyataan Al Hallaj yang kontroversial.



Ketika ia  mengetuk  pintu Junayd, sang Guru bertanya : Siapakah itu ?  dan ia menjawab : Ana 'l Haqq - Akulah kebenaran Mutlak (kreatif), Akulah kenyataan Yang benar.



Pada  bab  itu  Al  Hallaj   menjelaskan  mengenai  kesadaran  Aku  Yang  Mutlak dibandingkan  dengan  kesadaran  yang  diucapkan  Fir'aun  dan  Iblis.  Menurut  Al- Qur'an, Fir'aun menegaskan, Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi (Surat An Naziat:

24),  dan  Iblis  berkata,  "  Aku  lebih  baik  daripada  Adam  (Surat  Al  A'raaf:  12). Kemudian Al Hallaj menegaskan pernyataannya, Akulah Kebenaran Mutlak".



Pada bagian ini para sufi merenungkan mengenai ke-Aku-an dirinya, tatkala ia menafikan segala sesuatu, yang wajib ada ialah AKU, ketika merenungkan ayat kullu syaiin  halikun  illa  wajhahu,  segala  sesuatu  pada  hakikatnya  tidak  ada  (binasa) kecuali  wujud-Nya  yang  kekal.  Para  mistisi  merenungkan  dalam-dalam  perkara adanya dua Aku yang berbeda, yakni Aku Fir'aun dan Aku ahli mistik yang

bercinta. Kesimpulannya diberikan dalam wahyu ilahi bahwa, Fir'aun hanya melihat dirinya sendiri dan kehilangan AKU, sedangkan Husain hanya melihat AKU sehingga kehilangan dirinya sendiri. Aku penguasa Mesir itu ( Fir'aun) merupakan pernyataan kekafiran, sedangkan Aku Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan. inilah alasan Al Hallaj mengapa ia berkata Akulah kebenaran.



Apapun alasan pernyataan Ana'l Haqq itu,  Junayd -salah seorang guru Al Hallaj- telah menyatakan sikapnya terhadap bekas pengikutnya tersebut, dengan menuduh telah menyebarluaskan pernyataan religius yang berbahaya.



Disisi lain, Al Hallaj mempunyai pandangan lain dari pernyataan Beyazid yang juga menyatakan  AKU  pada  kalimat  "Maha  Suci  Aku"  (Subhani),  dan  menganggap Beyazid sebagai orang yang menipu, karena dia baru berada diambang ilahiyah saja







. Beyazid tidak layak mengucapkan kalimat suci tersebut, karena ia masih ada dan merasakan  keadaan  mabok  mistik  (syakr),  ia  belum  lenyap  (fana).  Hal  inipun diakuinya sendiri oleh Beyazid :  Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya sama sekali itu hanyalah tipuan hayalan belaka.



Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Mathnawi, Rumi mengisahkan legenda tentang pengikut-pengikut Beyazid yang memberontak gurunya ketika si guru itu berkata : Dibalik jubahku ini tak ada apapun selain Allah !!



Terlebih dahulu marilah kita mencoba untuk memahami maksud ketiadaan (fana), sehingga memahami mengapa Al Hallaj begitu yakin, bahwa Beyazid belum sampai kepada taraf tertinggi.



Seorang sufi besar Abu Bakar al Kharraz ( 899 M ) dikenal di Barat lewat karyanya " kitab As-Sidq"  - kitab kebenaran, yang diterjemahkan  oleh Arberry.  (Abu Bakr al Kharraz, kitab as sidq, the book of Truthfulness, diedit dan diterjemahkan oleh A.J . Arberry (Oxford, 1937) mengungkapkan bahwa hanya Allah yang berhak berkata " AKU",  sebab  siapapun  yang  mengatakan  "  Aku"  tak  akan  bisa  mencapai  taraf makrifat. Itulah sebabnya iblis dihukum, karena berkata ' Aku lebih baik dari Adam ". Lebih jauh Kharraz menunjukkan  bahwa  " Aku" ilahy ini secara ontologis terkait dengan  Nama  Ilahi  Al  Haqq;  "Kenyataan"  inilah  tampaknya  yang  menjadi  inti ungkapan terkenal Hallaj Ana 'l Haqq.



Apakah  Al  Hallaj  benar-benar  mengungkapkan  Ana  'l  Haqq  pada  saat  keadaan ekstase (syathathat) atau hanya  merupakan pengajaran di dalam Majelis, sebab dalam kritiknya terhadap Beyazid, beliau mengatakan "Kasihan Beyazid, ia merana karena ia tidak mampu meninggalkan dirinya (fana), ia baru sampai di ambang ilahi. Orang yang fana dirinya tidak akan berkata " AKU" sebab ia telah tiada."



Didalam kitab yang berjudul Raitullah "Aku  melihat Allah" karya  ulama sufi yang terkenal Syekh An nafiri, diungkapkan mengenai Bab " AKU" :



"Tidak akan diucapkan kalimat  AKU, kecuali bagi orang yang berkawan dengan kealpaan dan oleh setiap orang terhijab oleh hakikat."


"Engkau berani mengatakan AKU, sedangkan engkau masih terhijab dari pada-KU, gemerlap  duniawi  masih  mengusik  nafsumu,  masing-masing  akan  menyambar dirimu dengan seruan zat dirinya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam dari pada-Ku. Maka  apabila engkau  telah melihat " Aku" dan Aku - pun telah menampakkan  diri  dihadapanmu,  tetaplah  keteguhanmu,  maka  tiada  Aku  lagi melainkan  AKU." (diri manusia akan  hancur atau  binasa, sebagaimana peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa surah Al A'raaf: 143 ).



"Telah Kuciptakan (kuadakan) untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara lain tujuan itu ialah, cintamu kepada dirimu sendiri, itulah tetesan waham (kalimat) yang  engkau  warisi,  kata-kata  mu  "  Aku"  adalah  egomu  sendiri  (Aku  terlepas anggapan dari yang demikian) dan tidak lain zat itu melainkan kepunyaan-Ku, dan tidak lain Aku itu kecuali untuk-Ku, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat prasangka,  hal ini disebabkan karena caramu sendiri berfikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa dan persoalan."
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah

dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran Al Hallaj :



Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya  akan  menemukan   kesunyian  dan   kesenyapan.  Jika  engkau   ke  utara, keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung  dan bukan  pula otak  yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas yang  melaju  pesat  bagaikan  anak  panah  terlepas  dari  busurnyalah  yang  bisa mejelajah ke Mekkah dan Madinah."



Menurut Siti Jennar selanjutnya, "Dirinya bukanlah budi, bukan angan-angan hati, bukan pula fikiran yang sadar,  niat, udara, angin, panas, atau  kekosongan dan kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah,  yang membusuk  bercampur  tanah  dan  debu.  Nafasnyalah  yang  mengililingi   dunia, meresap dalam tanah, api, air dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru dan bukan yang asli. Hakikat dirinya dipandangnya sebagai dzat yang sejiwa dan menyuksma di dalam Hyang Widi."



Bagi Siti Jennar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat Jalal dan Jamal yaitu Maha Mulia  dan  Maha  Indah.  Siti  Jennar  tidak  mau   mengerjakan  shalat   karena kehendaknya sendiri, karena itu ia juga tidak memerintahkan siapapun untuk shalat, baginya orang shalat karena budhinya sendiri yang memerintahkan shalat. Namun budi itu juga bisa menjadi budi  yang laknat dan mencelakakan, yang tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri.



Inilah yang katakan oleh Al Junayd dan Syekh An Nafiri, bahwa baik Beyazid, Siti Jennar ataupun Al Hallaj (??), telah terhijab oleh dirinya. Tatkala mereka mencari Tuhan  di  mana,  ternyata  hanya  dirinya  yang  ada;  ketika  ia  melambung  jauh keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada , di atas ada, di bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana ada. Yang  ada tetap  yang langgeng dan  kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj  ambang ilahi) bukan fana. Keadaan  inilah yang dianggap  bersatu (ittihad) atau manunggaling kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran vedanta disebut tat twam asi .



Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat  Al Junayd, mengenai pernyataan  "Aku" yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau tahu  bahwa  Al  Hallaj  belum  mampu  melepaskan  ego  dirinya,  karena  itulah  ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa, ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya,  bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan  dirinya hancur

(fana) bersama Bukit Thursina, dan  pada saat  itu  Allah  menampakkan Dirinya, bahwa AKU tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa

digambarkan oleh presepsi  pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri; dalam  Alqur'an  Musa  digambarkan  pingsan  )  AKU  mengenali   diri-Nya  secara sempurna.  Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan kristen,  yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.



Al Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai berikut :



"Tasawuf  merupakan penyucian dan perjuangan  kejiwaan  yang tidak ada habis- habisnya. Kita tidak melaksanakan tasawuf  dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap  dunia dan memutuskan  hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita  dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali ke asal-usulnya, yang  bersumber pada Allah awal mula  segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian."

Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme)

dan manunggal ( pantheisme ) sangatlah berbeda .



Pantheisme  adalah  seperti  yang  diungkapkan  oleh  Harun  Hadiwiyono  sebagai berikut:



Bagian terdalam dari  manusia yaitu atma, sejajar dengan atman  di dalam agama Hindu.  Atma  dipandang  identik  dengan   Allah  sebagai  Zat  Mutlak.  Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat,  mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging.  Menurut  ungkapan  jawa;  manusia  seperti  katak  berselimutkan  liangnya

(kodok kinemulan ing lenge) Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri :

Sedangkan Fana (monotheisme ) adalah seperti ungkapan Al Junayd :



Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu

(Al Qashash, 28 : 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram ( Ar rahman, 55 : 26-27) Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam  waktu belum lagi ada.  Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan), karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tak  seorangpun dapat meraihnya,  nabi-nabipun tidak

(termasuk  Nabi  Musa).  Para  malaikat  yang  berdiri  dekat  Allah-pun  tidak  dapat meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak  seorangpun mengetahui atau merasakan hakikatnya. Sifat-sifat dan  nama-nama belum ada. Hanya  Dialah Yang  Ada dan nama-Nya ialah wujud makal, zat langgeng,  hakikat segala hakikat, adanya ialah kesepian (kosong). Siapakah gerangan yang tahu akan tahap ini. ??? Barang siapa mengatakan mengetahui zat yang sejati, dia telah tersesat .


Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga  ia harus rela melenyapkan

dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun Nabi  Musa,  maka  ia  berkata  dengan  tulus  agar  ia  mampu  cepat  melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya : uqtuluni ya thiqati - inna qatli hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku.



Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu  meraih kenyataan yang  sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo yang memenggal kepalanya.



Didalam kitab Jati Murti diuraikan mengenai kenyataan  (hakikat)  yang tidak  bisa dibandingkan dengan sesuatu (laisa kamistlihi syaiun, surah Asy syura, 42 : 11). Sebagai berikut :



Kesejatian itu sangat luas, tidak bisa di kira-kira besar luasnya, tidak bisa dicapai di dalam  hati,  tidak  bisa  ditemui  diseluruh  jagad  raya,  sebab  didalam  kesejatian

(hakikat) mempunyai arah yang disebut lahir dan bathin. Segala alam (jirim) berada disisi luar kesejatian (hakikat), yaitu diantara lahir dan bathin, itu arah yang tidak bisa direka-reka oleh pikiran dan perasaan manusia.



Karena kesejatian (hakikat) itu bersemayam dalam bathinnya alam atau badan yang berada  dialam,  maka  kesejatian  tidak  membutuhkan  alam  untuk  bersemayam, malahan   berada   dalam   segala   trmpat   (berada   di    mana-mana),    seperti keberadaannya benda terhadap permukaan, atau seperti keberadaannya permukaan terhadap garis. Jadi seandainya keadaan hakikat dibentengi besi yang amat rapat, seperti halnya tempurung kemiri, tetap masih lebih luas (leluasa) sekali serta tidak berpengaruh apapun.



Ibarat orang menggambar seekor kuda dengan sebuah pensil. Bentuk seekor kuda yang dikelilingi dengan goresan (garis) bekas pensil, seperti tampaknya pensil tadi yang berada di kulit kuda.



Kesejatian tidak terpengaruh sama sekali,  sebab bukan benda. Yang bersemayam dalam kesejatian, yaitu : Saya, maksudnya : Pribadi  = AKU, Innani Ana Allah, laailaha illa ANA, sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali AKU, berada berjajar dengan segala kejadian, yaitu yang diakui oleh makhluk seisi alam semesta, tempat bergantungnya segala sesuatu (Allahush shamad ), rabbul `alamin, Rabb alam semesta.



Sesungguhnya keadaan hakikat (sejati ) tidak bisa diperbandingkan dengan segala sesuatu  yang  ada  pada  keadaan  alam-alam,  sebab  bukan  tandingannya.  Jika memaksakan untuk membayangkan, maka ibarat batu dibandingkan dengan warna yang  ada  pada  permukaan  batu  tersebut,  atau  seperti  satu  meter  persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu perasaan manusia (sarana yang dipakai  untuk  membayangkan  atau  mengukur)  bukanlah  rasa  yang  sejati.  Jika perasaan   manusia   dibandingkan   dengan   perasaan   sejati   (keadaan   hakikat), kejadiannya  seperti  halnya  warna  yang  ada  pada  permukaan,  sebuah  benda dibandingkan dengan  benda yang menyatu yang memiliki permukaan tadi. atau dapat diumpamakan seperti halnya wayang yang sedang dimainkan oleh dalang,

dibandingkan dengan dalang yang sedang menjalankan  wayang tersebut. Menurut dalang : Perilaku wayang itu pada hakikatnya tidak ada, yang ada adalah perilaku si dalang tersebut, tanpa ada perbandingan (tandingan).



Sebagaimana firman Allah:



"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah- lah  yang  membunuh  mereka,  dan  bukan  kamu  yang  melempar  ketika  kamu melempar,  tetapi  Allah-lah  yang  melempar  (QS  Al  Anfaal,  8:17  )  Pendek  kata manusia sebenarnya hanya "diam"(fana). Diamnya dapat diumpamakan : Salah satu perilaku wayang berhenti, tidak dimainkan lagi oleh dalang, maka

yang ada tinggal perilaku dalang, si wayang tidak tahu apa-apa lagi, penglihatannya tidak  ada, pendengarannya tidak ada,  perasaannya  tidak ada, kekuatannya  tidak ada, hidupnya tidak ada, kesadarannya tidak ada, maka dirinyapun tidak ada seperti pada mulanya sebelum diciptakan. Sekarang si wayang  tidak tahu  apa-apa, yang tahu  adalah  tinggal  AKU  yang  sejati  yang  meliputi  segala  sesuatu.  Si  wayang kembali kepada asal  muasalnya, yaitu dari  tidak ada  menjadi ada lalu tidak ada, inilah hakikat innalillahi wainna ilaihi rajiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali. Jadi manusia hanya diam saja (lenyap tanpa memiliki presepsi  apa-apa)  itulah  layaknya  manusia  yang   masuk   kedalam  kesejatian

(hakikat), dan masuknya kealam kesejatian melalui proses penyucian dari anggapan

(  dhzan,  presepsi),  artinya  Allah  suci  dari  anggapan  pikiran  dan  rekayasa  hati manusia  (dhzan);  suci  dan  hilangnya  sifat  kemanusiaan  oleh  kekuatan  yang menganggap dengan I'tikat yang kuat, ia menganggap kekuatan itu adalah dirinya sendiri; akan tetapi semuanya itu milik Allah dan harus kembali kepada-Nya.



Bukan manuggaling kawula Gusti  seperti anggapan Siti Jennar,  yang terpengaruh oleh ajaran Vedanta, yang mendorong ke perluasan Atman "inti diri", sampai si inti diri   itu  menyadari  kesatuannya  dengan   hakikat  segala  sesuatu  seperti  yang dinyatakan dalam ungkapan tat twam asi, itulah engkau !!

Karena  hakikat  itu  tidak  bisa  dibandingkan  dengan  apa-apa  (alam  yang  bukan sejati), maka keadaannya tidak ada perbandingan seperti suka dan duka, senang dan benci, bosan dan betah. Karena tanpa pemilahan, maka tidak ada hitungan dan bilangan.Yang dimaksud dengan istilah tanpa hitungan maknanya ialah : Tidak ada jumlahnya,  karena  jika  dikatakan  satu  maka  satu  itu  membutuhkan  tandingan adanya dua, tiga , empat dan seterusnya. Memang kebiasaan kita menyebut dia itu Tunggal (satu), tetapi bukan berarti satu seperti penyebutan untuk sebuah benda, satu jeruk, satu mobil. Untuk jelasnya, maka penyebutannya seharusnya sebagai berikut : tidak ada apa-apa kecuali hanya ada: "Pribadi".



Bobotnya sudah disebut demikian, maksudnya adalah :  tidak ada apa-apa kecuali hanya  -  walaupun  menurut  alam  jirim  bukanlah  suatu  hal  yang  aneh,  namun menurut keadaan hakiki hal tersebut menjadi aneh. Anehnya adalah mengapa mesti diomongkan sebagai : Tidak ada apa-apa  kecuali ….. apa sebabnya ?? itu ibarat orang berkata : air itu tidak ada yang bukan air, atau jagad segala jagad ya tetap segala jagad .



Oleh karena tidak ada pemilahan dan bilangan, maka maksud istilah "gusti dan kawula berada dalam keadaan sejati" juga menjadi  aneh. Anehnya kenapa ada perbandingan  ,  yaitu  kawula  dibandingkan  dengan  gusti,  seperti  halnya  kuda dibandingkan  dengan  warnanya,  atau  gelang  dibandingkan  dengan  emas  yang dipakai  untuk  membuat  gelang  tersebut.  Warna  itu  ya  warna  kuda,   bukan semestinya dibandingkan dengan yang  memiliki warna tersebut, sebab warna itu

tidak akan ada (tampak ) kalau tidak ada kuda (yang memiliki warna), bukan wujud yang  sebenarnya,  akan  tetapi  wujud  yang  sebenarnya  adalah  kuda  itu  sendiri. Gelang itu terbuat dari emas, gelang dengan emas itu berbeda, gelang merupakan kejadian  yang  terbuat  dari  emas.  Emas  merupakan  wujud  yang  sebenarnya, sedangkan  gelang adalah kejadian (ciptaan)  yang  tetap tergantung kepada bahan emas tadi, sehingga gelang itu diliputi oleh emas



 

PENEGASAN PATRAP PERTAMA part2


Pada abad ke 9  Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan makrifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah   ditemukan,   baik   yang   berupa   berupa   syair   ataupun   pemikiran   yang menunjukkan  keanekaragaman  kemungkinan  dalam  kehidupan  mistik,   seperti halnya Al Ghazaly, Dzun Nun  (859 M), Bayezid Bistami (874 M),  dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).

Pemikiran  dan peranan para tokoh inilah  yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis  dibahas,  karena  pihak-pihak  yang  berbeda  pendapat  tidak  pernah  saling bertemu  untuk  memberikan  klarifikasi  dalam  satu  majelis,  kecuali  hanya  saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak lama.

Banyak kisah keshalehan serta kata-kata bijak penuh hikmah yang mengisi setiap referensi kitab-kitab  keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para tokoh Sufi ini, baik yang bisa difahami oleh kaum awam sampai pernyataannya yang banyak mengundang perdebatan yang tidak henti-hentinya sampai sekarang.

Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang populer yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj " Akulah kebenaran Yang Tertinggi ". Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan olah kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri  dari  perbuatan  maksyiat.  Sehingga  pada  ujungnya  berpengaruh  terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi mandek.

Terlihat para mufassirin agak ragu-ragu  menafsirkan kata-kata  hiperbolis kedalam pengertian proporsi yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan makrifat. Mereka mengira ilmu tasawuf adalah ajaran sesat dan membahayakan. Saya menganggap pandangan mereka terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Pandangan yang mengakibatkan ajaran Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual yang seharusnya diajarkan telah hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang mestinya  paling  dianggap  menentukan  dalam  kaitan  diterima  atau  ditolaknya perilaku keagamaan seseorang.

Saya terkesan dengan pandangan Yahya,  seorang Sufi yang shaleh menanggapi pernyataan  orang  Yang  menganggap  dirinya  Tuhan  dengan  doa  dalam  bentuk dialektis :

Oh Allah , kau telah mengirim  Musa dan Harun ke Fir'aun si pemberontak dan berkata, "  berbicaralah baik-baik dengannya" , Oh Allah , inilah kebaikan hati-Mu terhadap  orang  yang  menganggap  dirinya  Tuhan;   bagaimana  pula  gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya ? …Oh Allah, ada takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap pada-Mu karena kaulah Tuan
! Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut padaMu karena Kau Maha Kuasa ? Oh
Allah , bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah? ( Dimensi Mistik dalam Islam, Annemarie Schimmel hlm,53 )
Sebagai  tokoh  yang  tiada  hentinya  dibicarakan  di  dunia  mistik  Islam  maupun dikalangan yang memusuhinya, Al Husain ibnu Mansur Al Hallaj pada tahun 922 M dijatuhi  hukuman  mati  oleh  para  wakil  kaum  ahli  hukum  karena  ajaran  yang disebarkannya,  yang  dianggap  telah  keluar  dari  aqidah  Islam  -yang  terutama- berasal dari ucapannya yang terkenal, Ana 'l Haqq ( Akulah kebenaran Tertinggi ). Pro dan kontra dari jatuhnya hukuman  tersebut -sampai sekarang- masih juga terjadi, namun  demikian saya  memiliki  alasan sendiri mengapa tokoh ini masih pantas  dibahas pada sebuah  telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada ditempat lain.

Sejak lama, terutama karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, kita tahu dengan pasti bahwa para saudagarlah yang berperan dalam  ekspansi agama Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, dipantai Barat Laut  semenanjung  India.  Daerah  tersebut  mempunyai  hubungan  yang  khusus dengan Al  Hallaj, dimana  dia sendiri membawa agama Islam kesana dan  bahkan berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Bahwa konteks itu memang cukup luas jangkauannya terbukti oleh kenyataan, bahwa sebagian  dari kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Mansuri, sedangkan makam Al Hallaj di Bagdad tetap didatangi oleh orang-orang Gujarat. ( Massignon, Hallaj, halm.85 ,).

Saya kira tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau  karena banyak memainkan peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia dari pada di tempat lain, terutama di Jawa dan Aceh.  Kita bisa melihat baik tersirat maupun tersurat, dalam ajaran sinkretisme Jawa terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula Gusti, yang berakar dari ajaran Mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Tharikat Naqsabandiyah  yang  dianut  oleh  Pujangga  besar  Raden  Ngabehi  Ranggawarsita dalam kitabnya Serat Wirid  Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan sumber paham pantheisme.

Syekh Siti Jenar juga  mengalami  nasib tragis ketika harus menghadapi hukuman mati  yang dijatuhkan penguasa Demak  yang didukung penuh oleh  Dewan Agama yang dipimpin wali Songo, karena dianggap telah membuka tabir rahasia ketuhanan dalam  dirinya,  yaitu  manuggaling  kawula  Gusti.  Jika  Al  hallaj  tewas  dipancung kepalanya,  Syekh Siti Jenar memilih sendiri  cara untuk mati (  DR. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hal 51 ).

Bagaimana penilaian dunia Islam terhadap Al hallaj ??

Banyak pendapat umum yang mengatakan Al hallaj  mati karena ajaran mistiknya yang  terkenal  Ana'l  Haqq  (Akulah  Kebenaran  Tertinggi  ).  Tidak  banyak  kaum muslimin yang mengetahui dengan persis  apakah sebenarnya yang terjadi terjadi terhadap kasus yang  didakwakan kepadanya. Benarkah Al hallaj penganut faham ittihad (pantheisme) yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik katholik, atau ajaran Zanadika, tentang cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik  material  antara  sumber  cahaya  dan  percikan-percikan  yang  mengalir  dari sumber itu (emanasi).
Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang berpendapat, bahwa kesalahan Al Hallaj  ialah menyiarkan dimuka umum  kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut selubung rahasia). Konon kabarnya As Sibli mengatakan kepada seorang  utusan menjelang  eksekusinya,  pergilah  mencari  Al  Husein  ibnu  Mansur  dan  katakan kepadanya, "Allah telah memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu rahasia -Nya , tetapi karena engkau menyiarkan  kepada umum, maka kau harus merasakan pedang" :( Massignon Hallaj, hal.310 ).

Ada  yang  berpendapat,  bahwa  ajarannya  mengenai  manunggalnya  Allah  dan manusia tidak dibenarkan,  namun dapat  dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis (Massignon, hallaj, hlm.352, dikutip dalam buku Manunggaling kawula Gusti P.J Zoetmulder, Gramedia,  Jakarta 1990). Sementara para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak  atas kejadian ini. Mereka hanya berpendapat bahwa Al Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thaha: 14, innani Ana Allah laailaha illah Ana fa'budni …sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.

Sedangkan Al ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan, bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berada pada tingkat "ADA" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolah- olah dan ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga hendaknya  kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan,  akibat kemabukan cinta kasih (dalam Ihya' ulumuddin, bagian II kitab adabi s sama'I wa 'l wajdi , fi atari 's sama'I adabihi)

Saya tidak ingin masuk kedalam kesimpulan terlalu dini, karena banyak sekali ayat- ayat  Alqur'an  yang  dijadikan  landasan  oleh  para  sufi  sebenarnya  mengandung makna hiperbolis; sehingga kalau diungkapkan sekilas,  kita akan terjebak kepada pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah berikut ini: innahu bikulli syaiin muhithun, Sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu
( Fushilat:54); selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahnya ( Qasas: 88 ); juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Qaaf:
16 ); falam taqtuluuhum  walakin 'l allaha  qatalahum  wama ramaita idza ramaita walakin 'l allaha rama, Maka ( yang  sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang  membunuh mereka, dan bukan kamu  yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar ( Al anfaal : 17 ).

DB Mac Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis, memang  tak  dapat  disangkal.  Perkembangan  seterusnya  membuktikan,  bahwa peluang itu memang ada. Banyak mufassir takut terjebak kepada makna hiperbolis atau  mutasyabihat,  sehingga  mereka  tidak  berani   menterjemahkan  arti  yang sebenarnya.seperti dalam surat Fushilat:54  Bahwa yang meliputi  segala sesuatu adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua ( Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada "wujud"(Hua )  tempat bergantungnya (sandaran)  sifat. Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat- Nya,  akan  tetapi  wujud  secara  sempurna  (bikamalaatihi).  Yaitu  kesempurnaan
meliputi  Dzat,  sifat,  af'al  dan  Asma'.   Dhommir  Hua  menunjukkan  "Wujud", sedangkan  sifat,  af'al  dan  Asma  merupakan  diluar  Diri-Nya  (wujudnya)  tetapi bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzat (sosok). Beberapa Mufassir menterjemahkan :"kekuasaan-Nya lah meliputi segala sesuatu", ada  juga yang menterjemahkan : "ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan banyak  lagi terjemahan / tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya. Hanya ulama' yang memiliki ilmu makrifat kepada Allah yang berani terang-terangan menterjemahkan : "DIA (Dzat) Meliputi Segala Sesuatu", sehingga kata DIA tidak ditafsirkan kedalam makna atau digantikan dengan bentuk yang  lainnya. Saya berprasangka, kemungkinan besar para Mufassir ragu-ragu menterjemahkan kalimat hiperbolis, karena dikhawatirkan memasuki wilayah konflik politik yang sedang marak masa itu, yaitu adanya perintah penguasa melarang pandangan Wihdatul Wujud yang di gagas oleh Al Hallaj.

Ali Ash shabuni menafsirkan, innahu bikulli  syai in muhith; Sesungguhnya Allah Ta'ala Meliputi Segala Sesuatu dengan pengetahuannya (ilmu-Nya), baik secara global maupun tafshila ( mendetail ) : tafsir Shafwatut tafaasir: Juz III hlm. 129. Lebih tegas lagi Syekh Nawawi memberikan keterangan dalam tafsir Al munir, Allah merupakan Subjek Yang Meliputi Segala Sesuatu, Dia sebagai fail (subjek) Al 'alimu yang mengetahui semua ma'lumat yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui yang dhahir dan yang tersembunyi dalam diri  orang-orang  kafir. Sedangkan penafsiran beliau mengenai wanahnu aqrabu ilaihi  min  hablil waridi ( Qaaf: 16). Fa ka anna dzatuhu ta'ala qaribatun minhu ..yaitu seolah Dzat itu sendiri yang lebih dekat dari urat leher.( hal 243 Juz III , tafsir shafwatut tafaasir, Ali as shabuni). Didalam tafsier Munir karangan Syekh Nawawi dijabarkan fallahu ta'ala aqrabu ilal insaani  min
'uruqihi almukhalithi lahu, Allah lebih dekat terhadap Manusia daripada keringatnya yang bercampur baginya. ( hal 319).

Kemudian,  baik syekh Nawawi maupun Ali Ash shabuni menafsirkan kullu syaiin halikun illa wajhahu, sebagai Segala sesuatu pada hakikatnya adalah fana (binasa) kecuali Dzat-Nya Yang Kekal dan Quddus. Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa  kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep qurani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam paham
penyatuan atau pantheisme.Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh- pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon (massignon, Essai,  hlm  84)  perkembangan  tersebut   ada  akarnya  dalam  Alqur'an  sendiri, sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena kontak  dengan  aliran-aliran  mistik  kristen  di  Suria  serta  Neoplatonisme,  atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri Ali  dan  para  pengikutnya  (menurut  DB  Mac  Donald,  Development  of  Mouslem Theology, Jurisprudence and constitional theory, hal 182), atau karena pengaruh dari India, (menurut M Horten, dalam indische stromungen in der inslamischen Mystik, Heidelberg 1928) , tulisan ini dikutip dalam buku pantheisme dan monisme dalam sastra suluk Jawa hlm 21. PJ, Zoetmulder,Gramedia , Jakarta 1990).

Dalam ajaran Tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman kerohaniannya melalui tahapan (martabat)  untuk mencari Tuhannya, yang  biasa dikenal dengan  ajaran martabat tujuh. Diharapkan  ajaran ini bisa membantu  memberikan petunjuk bagi kita untuk  meluruskan pemahaman tauhid dan menguak tabir rahasia para sufi dalam menyelami ekstasis, yang  terkadang  menimbulkan polemik dan absurditas, yaitu menempatkan Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan ( asy syura:  11) dan  tidak  ada  individuasi  maupun  presepsi.  Prinsip  ini  didasari  ayat  yang menyatakan Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya ( Al qashash: 88 ).
Didalam  penghayatan  mistisnya,  para  sufi  menafikan  segala  sesuatu  termasuk dirinya sendiri; sehingga muncul kesadaran "Yang wajib ada adalah Yang Mutlak", laa  maujuda  illallah.  Sebenarnya  hal  ini  merupakan  prinsip  monotheisme,  yang dibawa oleh Rasulullah saw dalam misinya, yaitu menafikan segala bentuk  tuhan- tuhan selain Allah, " laa ilaha illallah"  …..  pada hakikatnya segala sesuatu  akan binasa (fana) kecuali wajah-Nya yang tetap abadi (baqa) , kullu man alaiha faanin, wayabqaa wajhu rabbika dzul jalaalil wal ikraam ( Ar rahman: 26-27).

Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri ajaran Al hallaj dengan CARA tidak serta merta menerima atau menolaknya; karena  kita membutuhkan pemahaman  yang jernih akan hal ini. Sekilas memang ayat-ayat tersebut diatas banyak mengarah kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katholik oleh karena itu saya akan mencoba memaparkan ajaran-ajaran mengenai penyatuan diri dengan Tuhan agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasulullah dalam meluruskan tauhid kepada Dzat Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan kristen dengan monotheisme yang berasal dari Alqur'an.

Di dalam Al qur'an telah di ungkapkan bagaimana kaum musyrik melontarkan alasan yang dijadikan prinsip, bahwa berhala-berhala bukanlah Tuhan  yang sebenarnya sebagai sesembahan, melainkan hanya sebagai perantara (washilah) untuk menuju Yang Maha Mutlak.

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik ). dan orang- orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah mereka  (berhala)  melainkan  supaya  mereka  mendekatkan  kami  kepada  Allah dengan sedekat-dekatnya". ( QS. Az zumar : 3 )

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada  mereka : " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" ,  niscaya mereka menjawab; " Allah".  Katakanlah : " Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan   kemudharatan    kepadaku,   apakah    berhala-berhala   itu   dapat menghilangkan  kemudharatan  itu,  atau  jika  Allah   hendak  memberi  rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya ?..( QS. Az zumar: 38 ) Berhadapan dengan berbagai macam pendapat tadi, mari kita kaji uraian sekitar ajaran Al hallaj yang telah dipaparkan oleh Massignon dalam kajian Al Hallaj , hlm
352. dalam buku Manunggaling Kawula Gusti , PJ. Zoetmulder , hlm 38,39 )

Al Hallaj mencari kesatuan dengan Allah  bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata yang  diwariskan  -spontan-  berasal  dari   perasaan  pribadinya.  Al  Hallaj   ingin menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan itu  kepada  orang-orang  lain,  sehingga  dalam  kajian  terhadap  ajaran  Al  Hallaj hendaknya  kita juga mencari keterangan mengenai ucapan-ucapan emosionalnya, yang kalau dipandang dari luar konteksnya, mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan pantheistis. Di sini pertama-tama saya teringat akan ucapan-ucapannya mengenai Allah,  dengan  mempergunakan  kata  ganti  pertama,  seperti   konon  kabarnya diucapkannya dalam malam terakhir sebelum ia menjalani hukumannya.
 
"Adapun Engkau membagikan kepada saksi ini (Al  Hallaj sendiri) kepribadian-Mu sendiri dan kodrat ilahiMu. Bagaimana ini  dapat terjadi karena Engkaulah  (yang memegang peranan dari kodratku sendiri untuk menampakkan  Diri-Mu di tengah- tengah manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku- bila Engkau telah datang kedalamnya untuk menampakkan kodratku ( Engkau, Ya Tuhan ) lewat kodratKu ) (
mulai kalimat ini Al hallaj berbicara atas nama Tuhan dan mempergunakan kata ganti  pertama  guna   mengungkapkan  penyatuan  mesra  dengan  Tuhan.  Saya berusaha menyatakan peralihan itu dengan menulis awal kata positif dengan huruf- huruf besar: catatan dari Massignon ) Serta mempermaklumkan kenyataan ilmuKu dan mukjizatKu- sambil mengangkat DiriKu, dalam kenaikanKu, sampai tahta-tahta kelanggenganKu, sambil memelihara DiriKu dalam ciptaan-ciptaanKu: Bagaimana bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan kedalam penjara , diserahkan kepada  maut,  ditempatkan  diatas  kayu  salib,  dibakar,  lalu  debuku  diserahkan kepada ombak-ombak ( Massignon, 297,298 )

Dalam membicarakan Al  Hallaj, penting untuk dibahas sosok Beyazid Al  Bustami, seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik dari pengalaman bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman Mi'rajnya Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh  dengan makna, bahwa alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan Beyazid, yang mencatat sejumlah besar  ungkapan-ungkapannya, pernah bertanya tentang pengingkaran terhadap dunia (zuhud) dan sang paman menjawab:

"Pengingkaran  (  Zuhud)  itu  tak  ada  nilainya.  Tiga  hari  lamanya  aku  dalam pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari dunia  ini,  hari  kedua  kuingkari  akhirat,  hari  ketiga  kuingkari  segalanya  kecuali Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku telah mencapai damba yang menyakitkan . kemudian ada suara menyeruku : O, Abu Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku sendiri. Kujawab : itulah memang   yang   hamba   inginkan.   Kemudian   suara   itu   berkata   :   kau   telah menemukannya, kau telah menemukannya !!"