Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah, yang Maha Mengetahui seluruh rahasia tersembunyi dan dimana hati mukminin bergetar tatkala mendengar asma-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah pada penghulu sekalian Rasul, penyempurna risalah Ilahi beserta keluarganya.
Saya ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi
rekan jamaah dzikrullah
di
nusantara alam kontribusinya pada syiar Islam di bidangnya
masing-masing. Kepada
bapak H. Slamet Oetomo, saya
juga menghaturkan terima kasih atas
wejangannya yang bermanfaat dalam perjalanan menuju ke hadirat
Ilahi.
Dalam kesempatan ini, saya akan sampaikan perjalanan pengalaman keruhanian saya serta apa dan bagaimana wejangan H. Slamet Oetomo tersebut. Sebelum saya bertemu dengan pak Haji, demikian H. Slamet Oetomo biasa dipanggil,
saya tinggal di sebuah pesantren
di Bogor. Sebuah pesantren yang menekankan nilai-nilai ajaran tasawuf Imam Al Ghazaly. Kami dikondisikan dengan suasana nizham tasawuf yang
cukup ketat.
Namun anehnya, semakin dalam saya menekuni dunia tasawuf akhlakiah ini (bukan
tarikah seperti Naqshabandiyah, atau yang lain) justru saya mengalami rasa jenuh
yang luar biasa.
Saya merasakan kelelahan
yang sangat hebat. Dalam beribadah
dan bersyariat pun terasa banyak yang masih terlewatkan. Belum lagi tuntutan kualitas dalam melakukannya. Saya merasa tidak mungkin melaksanakan ajaran Islam secara
total yakni melaksanakan ayat per ayat yang jumlahnya 6666 itu, ditambah lagi dengan hadist yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Saya pernah berpikir
betapa ajaran Islam ini susah sekali untuk diamalkan, padahal
kita terlanjur tahu tentang segala kewajiban harus dilakukan. Baik yang berupa larangan maupun perintah. Dan di dalam Al
Qur'an sendiri,
surat Al Baqarah ayat 208 menyatakan
:
"Wahai orang yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh
yang nyata bagimu" (QS
2:208).
Tiba-tiba saya menjadi sangat
ngeri membaca peringatan
ayat ini. Sebab kata
"kaffah" dalam ayat tersebut berarti keseluruhan ajaran Islam, dimana dalam pemahaman saya, kita harus melaksanakan ajaran Islam ini dengan total tanpa
pilih-pilih lagi. Namun, terasa sekali betapa berat dalam merealisasikan tuntutan Al
Qur'an tersebut, padahal saya sudah berupaya dengan sungguh-sungguh. Mulai dari
menjaga pandangan dari perbuatan maksiat serta shalat-shalat sunnah dengan
diiringi puasa nabi Dawud
dan mendawamkan wudhu', sampai-sampai ditengah banyak orang tidur lelap, saya tidak ketinggalan tahajjud. Keadaan ini saya lakukan selama
bertahun-tahun, namun begitu melihat bahwa ajaran Islam tidak hanya itu, saya pun mengalami kebingungan. Karena terasa bahwa saya masih jauh dari kata
"kaffah". Terus apanya yang salah?
Mulailah saya bertanya dalam diri, apakah ada yang salah dalam ibadah saya? Saya berpikir bahwa hanya diri saya yang mengalami kegelisahan tersebut
namun
ternyata banyak keluhan serupa terlontar dari ikhwan-ikhwan yang juga ketat dalam menjaga
syariat.
Kalaulah saya tidak takut dosa mungkin saya akan mencari jalan lain untuk
mendapatkan kedamaian dan ketentraman.
Saya juga mengintip apa yang dilakukan
orang lain dalam mencari kedamaian dan
ketentraman. Dari sekian banyak yang
saya temui melihat perilaku orang lain dalam mencari solusi, tidak salah lagi
…..kebatinan dan dunia klenik, mistis, perdukunan jadi pelabuhan jiwanya. Sementara sebagian
lagi terjebak oleh retorika ilmiah yang disajikan dengan memisahkan tidak ada hubungannya
dengan agama sama sekali, apalagi dengan dunia mantra-mantra. Dalam hal ini saya tidak akan membahas
mengenai
bagaimana dan tidak akan membuka perdebatan masalah apa yang dilakukan orang lain. Dari pergolakan jiwa saya yang menggelegak itulah saya bertemu dengan H. Slamet Oetomo. Lewat butiran mutiara nesehatnya itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada dan mampu manusia di kolong semesta ini untuk berIslam dengan "kaffah", kecuali mendapatkan karunia dan bimbingan Allah secara langsung.
Di dalam perenungan saya sangat heran, betapa tidak, sedikitpun saya tidak pernah
merencanakan benci atau marah terhadap seseorang yang menyinggung hati. Tapi kenapa benci dan marah itu datang
tanpa bisa saya cegah. Namun sebaliknya kenapa untuk berbuat baik dan ikhlash harus memerlukan tenaga dan upaya yang sangat luar biasa. Kenapa kebaikan tidak
menjadi terasa ringan dan mudah sehingga
tak
terasa beban dalam fikiran
maupun perasaan.
Rasa marah
berganti
senyum, rasa benci menjadi
kasih sayang, dari tidak khusyu' menjadi khusyu' dan seterusnya. Dan seharusnyalah sifat-sifat baik ini mengalir seperti ilham yang menuntun perilaku kita. Suatu malam, saya keluhkan hal ini kepada Allah tentang keletihan hati dan
ketidakmampuan untuk berbuat lebih banyak menjalankan syariat Islam. Saya pasrah dan mohon bimbingan agar
ditunjukkan ke jalan
yang
diridhoi
.
Selama ini kita dipaksa untuk percaya terhadap suatu keyakinan tanpa pernah memahami
mengapa kita harus meyakininya. Keadaan inilah yang menyebabkan keyakinan seseorang akan mudah lepas dan selalu dalam keraguan. Misalnya begini, si Ahmad memberitahu Salman bahwa gula itu rasanya manis. Berita dari Ahmad ini adalah bentuk informasi yang memaksa Salman untuk percaya (wajibul
yakin) kemudian
dilanjutkan untuk melakukan memakan gula tersebut dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ternyata
benar bahwa gula yang baru saja dimakan rasanya
benar-benar manis. Pada tingkat ini pengetahuan Salman bertambah dari
wajibul yakin menjadi ainul yakin (merasakan sendiri) kemudian menjadi haqqul yakin, karena ia betul-betul mengalami secara langsung bukan sekedar katanya si Ahmad. Akan tetapi bahkan Salman sudah sekaligus mengisbathkan (keyakinan yang tidak bisa
diubahkan)
kebenaran informasi tersebut.
Sampai di sini, keyakinan Ahmad dan Salman tidak akan mampu lagi diubah oleh orang lain, walaupun dipenggal leher sekalipun. Nah…keyakinan seperti inilah yang kita harapkan dalam beribadah kepada Allah
serta mempercayai ayat-ayat
sampai kepada keadaan yang
sebenarnya
(hakikinya).
Dari hasil perbincangan dengan rekan-rekan yang tergabung
dalam majlis dzikir ini,
banyak pengalaman yang telah
mereka lalui. Apa
yang
mereka katakan hampir
sama
Hal 2 dari 87
dengan apa yang telah saya lakukan. Dan
ternyata mereka juga mengalami hal yang sama
atas perubahan-perubahan dalam manisnya ibadah, sehingga berkembang
memasuki keadaan
hakikat yang
sebenarnya dari bentuk syariat yang dilakukan. Anda tidak usah khawatir untuk memasuki dunia iman lantas takut sesat, tidak!!!
Saya
justru hanya
mengajak melakukan
apa yang telah kita dapatkan, kalau sekiranya ada amalan yang
keluar dari dasar Islam maka anda mempunyai hak untuk
menentukan
keluar dari majelis dzikir
ini.
Banyak orang terjebak dalam menilai sesuatu. Kita digiring kepada persoalan
yang sempit. Kerohanian tidak banyak
dikenal orang Islam lantaran takut sesat seperti Syekh
Mansyur Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar yang terkenal
dengan ajaran wihdatul wujud atau manunggaling kawula gusti. Dua orang yang dianggap
sesat, menghalangi kita untuk belajar lebih dalam ilmu hakikat. Padahal berapa ribu ulama
yang tidak sesat dalam belajar menghayati ruhiyah Islamiyah seperti Hujjatul Islam
Imam Al Ghazaly,
Imam Annafiri, Imam Syafi'i, Imam Hambali,
Imam Hanafi,
para sahabat rasul, serta Sunan bonang, Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Kali Jaga
yang merupakan guru Syekh Siti Jennar, dan seterusnya yang hidup dengan ruhiyah
Islamiyah. Tapi mengapa kita hanya mempersoalkan kesesatan dua tokoh tersebut.
Kenapa kita tidak melihat ulama yang tidak sesat seperti yang disebutkan tadi. Ada sentimen apa sehingga begitu gencarnya
mengekspos sesat dan bid'ah terhadap yang sungguh-sungguh
dalam bermujahadah kepada Allah yang Maha Ghaib….dan
mengatakan belajar ilmu
hakikat ini divonis
haram.
Dan yang perlu kita catat, kesesatan itu tidak hanya pada ilmu kerohanian saja. ilmu
fiqih, ilmu
ekonomi, ilmu akuntansi dan ilmu komputer, atau ilmu apa saja dapat dibawa menuju kesesatan.
Kenapa anda tidak pernah takut untuk belajar ilmu akuntansi, padahal dengan ilmu
ini orang bisa menggunakannya untuk korupsi
(maling) juga ilmu yang lainnya. Semoga kita tidak terpengaruh oleh pendapat sempit yang ia tidak
pernah memasuki atau menghayati kedalaman Islam secara menghujam hingga ke lubuk
hati.
Akibatnya kita menjadi korban atas pemberitaan
yang tidak seimbang. Islam yang kita lakukan sekarang menjadi setengah hati, tidak sampai menghunjam ke dalam akar
iman yang sebenarnya.
Kita tidak pernah lagi
mendengar
suara hati kita
terharu ketika berhadapan
dengan Allah. Apakah hati kita berguncang keras tatkala
asma Allah disebutkan berkali-kali?
Ketakutan kita terhadap pemahaman tasawuf, yang menurut prasangka
kita akan menyesatkan seperti yang terjadi pada Syekh Mansyur Al Hallaj atau Syekh Siti Jennar,
telah membuat asma Allah tidak lagi mampu menyejukkan dan menggetarkan jiwa. Padahal keadaan itu merupakan tanda-tanda keimanan seseorang.
Untuk itulah, agar kita tidak terjebak
dalam pemahaman sesat seperti di atas, agaknya kita perlu menengok
perjalanan sejarah pengalaman para nabi dan rasul
dalam merentas jalan keruhanian menuju
lautan cinta
dan kasih sayang
Allah
SWT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kalo menurut mu gimana...?