Membuka Hijab



Istilah  hijab  sebenarnya  baru   muncul   setelah  orang  mulai  serius  mendalami pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk memudahkan sampainya seseorang  kepada  tingkat mukhlasin.  Yaitu orang  yang benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya secara  transenden.   Amalan  amalan  ibadah  yang   mereka  lakukan  merupakan kutipan-kutipan  perintah  ibadah  sunnah  maupun  yang  wajib.  Sehingga  mereka menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.

Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya.  Penghalang  itu adalah dosa-dosa yang setiap hari kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak mampu melihat kebenaran yang  datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah disebabkan  ketidak  tahuan  (kebodohan)  dan  sangkaan  (dzan)  akan  Allah  yang keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini

Seperti yang pernah saya katakan pada  artikel bab hati, bahwa hati  merupakan pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat dimana  mereka  bertemu  dengan  Tuhannya.  Merupakan  janji  Allah  saat  fitrah manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya  berada
"sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah- Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " (QS 2:186)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia  dan mengetahui apa  yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS
50:16)

Pertanyaan tentang  keberadaan Allah sering kali kita  mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan fitrah seluruh manusia.

Allahpun  mengetahui  akan  hal  ini,  sehingga  Allah  memberikan  jawaban  atas pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.

Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara  utuh.
Maka   dari   itu   jawaban   atas   pertanyaan   "dimanakah   Allah?".   Al   Qur'an mengungkapkan  jawaban  secara  dimensional.  Jawaban-jawaban  tersebut   tidak sebatas  itu,  akan  tetapi  dilihat  dari  perspektif  seluruh  sisi  pandangan  manusia seutuhnya.  Saat  pertanyaan  itu  terlontar  "dimanakah  Allah  ",  Allah  menjawab
"….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat dari urat leher kalian…atau dimana saja  kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku
….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."

Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah :

"Ingatlah   bahwa  sesungguhnya  mereka   adalah  dalam  keragu-raguan   tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun  kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)

Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut  dirinya "Aku" berada meliputi  segala sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada!!! Kalau  kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.

Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.

Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat ayat 54, Allah meliputi segala sesuatu adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.

Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan)  wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai  wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.

Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya  atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :

"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku"
(QS 20:14)

Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan  wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus  menghapus pernyataan  selama  ini yang
justru  menjauhkan  "pengetahuan  kita  "  tentang  dzat,  kita  menjadi  takut  kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat  dan bukan  perbuatan  Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.

Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut  sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan  antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat sifat menyertai nama nama menandai af'al. Hubungan-hubungan ini  bisa  diumpamakan  seperti  madu  dengan  rasa  manisnya,  pasti  tidak  dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan,  seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.

Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu  dan  rasa  manisnya.   Meskipun  pengertian  sifat  bisa   dibedakan  dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas akan bergantung  kepada pribadi  (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek  ibadah kita, maka kita  telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri.

Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada  karena  adanya  dzat  yang  maha  qadim.  Seperti  perumpamaan  madu  dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah  madu.  Sebaliknya  madu  bukanlah  sifat  manis.  Artinya  sifat  manis tergantung kepada  adanya "madu".  Apakah  Dzat itu,   seperti apa? Apakah  ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan  sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk  bisa  memahami  Tuhan,  kita  harus  mengerti  keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….

Kenyataan  Tuhan tidak bisa dikenal dan  diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu).

Karena  tuhan  secara  mutlak  dan  tak  terbatas  benar-benar  dzat  maha  tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar  pemahaman realitas makhluq.  Dzat yang  maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.

Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan  melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:

"Dialah Allah,  tidak ada Tuhan melainkan  Dia, Dia mempunyai nama-nama  yang yang indah "(QS 20:8)

Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan tetapi "Dzat", adalah  realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….

Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan  alam dan yang menciptakan.

Ketika  kita  melihat  kereta  api  berjalan  diatas  rel,  terbetik  dibenak  kita  suatu pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama kemudian  kita akan  sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut. Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh  mengabaikan bahwa disana ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan rancangan dan  ketentuan-ketentuan yang ditetapkan,  maka pada hakekatnya tak ada wujud  bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan  dan perputaran pada roda-roda tanpa kerja  insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah  akhir dari  cerita sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah mengadakan  mesin  itu,  kemudian  menggerakkan  menurut  rencana  yang  telah dipersiapkan.

Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh roda- roda, kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis, dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu melihat   yang   menciptakan?"   Jawabannya   adalah   insinyur   itu   sendiri   yang mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan perbandingan….

Realitas instrumen kereta api tidak ada  satupun yang serupa jika dibandingkan dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api adalah ciptaan semata.

Firman Allah :

"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak  dapat dicapai oleh  penglihatan mata, sedang Dia dapat
 
melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" ( QS 6:102-103)

Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ... berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos.

Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.

Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :

"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami,  pada  waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa : ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada Engkau.  Tuhan  berfirman:  kamu  sekali-sekali  tidak  sanggup  melihat-Ku,  tetapi melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia  tetap ditempatnya  (sebagaimana sediakala) niscaya  kamu  dapat  melihat-Ku.  Tatkala  Tuhannya  nampak  bagi  gunung  itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah Musa sadar kembali dia  berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)

Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan dengan  pembahasan  mengenai  keadaan  "kefanaan"  manusia  dan  alam.  Yakni keadaan hancur luluh  lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh pingsan!!!  Setelah gunung itu hancur  dan  Musa-pun jatuh pingsan,  tidak satupun yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi  manusia dan alam tidak ada (fana).  Dalam keadaan  inilah  Musa  melihat  realita  Tuhan,  bahwa  benar  Tuhan  tidak  bisa dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya sebagai manusia dan  alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".

Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan akan  Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya  maksudkan dengan tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)

Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :

"Tiada sesuatu benda  yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab engkau  adalah  persangkaanmu  adanya  sesuatu  disamping  Allah,  sebab  segala sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang wajib ada  hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan  Allah untuk diadakan atau ditiadakan".
Seorang arif berkata : "Adanya  makhluq  semua ini bagaikan adanya bayangan pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai sesuatu yang maujud."

Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis sama dengan suara harimau, maka ia tidak  berani keluar. Tiba  pada pagi hari  ia tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin yang  masuk  ke  lobang,  bukan  tertahan  oleh  harimau,  hanya  karena  perkiraan adanya harimau.

Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini, tidak   mungkin   adanya   penglihatan   pada-Nya.   Dan   andaikan   Allah   tidak mendhahirkan  sifat-sifat-Nya,  pasti  lenyaplah  alam  benda-benda.  Ketika  Allah bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan "

Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa Allah sangat dekat tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus berada dalam kehidupan kita.  Dari keterangan diatas  menyimpulkan bahwa kita ternyata telah salah kaprah  mengartikan sosok dzat selama  ini, yang kita sangka adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa,
... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad yaitu yang Maha tak terjangkau oleh apapun…

Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat bukan kepada sifat (fa' bud nii)
sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.




Tafakkur dan Meditasi Transendental

Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk  memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !

Firman Allah :

"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh  menuju kepada
Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)

"ingatlah  bahwa  sesungguhnya  mereka   adalah  dalam  keragu-raguan  tentang pertemuan  dengan  tuhan  mereka.  Ingatlah  bahwa  Allah  maha  meliputi  segala sesuatu". (QS 41:54).

Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang mempunyai sangkaan  bahwa ia akan bertemu dengan  Allah dan mereka adalah orang   yang   kembali   kepada    Allah.   Rajiun   artinya;   orang   yang   kembali
(kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali. 

Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain Islam.

Pada tatanan fenomena fisik dan psikis,  mungkin kita akan  mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator penyembuh, pastor, atau pendeta biksu yang tekun beribadah atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali

Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu. Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal, seperti perasaan rindu …cinta sedih bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa disebut  sebagian  dari  pengalaman  perasaan  rohani.  Yang  tidak  bisa  kita  klaim sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.

Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari kalangan  Islam  yang  bukan  kyai  bisa  berdoa  untuk  yang  sakit,  ...  iapun  bisa sembuh.

Dari  sudut  pandang  psikolgi  modern,  tafakkur  termasuk  bagian  dari  psikologi berfikir.  Lapangan  sentral  kajian  psikologi  tradisional  pada  masa-masa  sebelum aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran,  kandungan perasaan, dan  bangunan  akal manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut, kemudian  muncul  aliran  behaviorisme  dengan  konsep-konsepnya  yang  terkenal. Aliran   ini,   akhirnya   mengubah   secara   besar-besaran   pandangan-pandangan sebelumnya,  kemudian  menempatkan  kajian  mengenai  proses  belajar  manusia, melalui  rangsangan  dan  respon  yang  timbul,  menjadi  tema  utama  psikologi. Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai untuk  mempelajarinya,  seperti  metode  intropeksi,  dikritik   karena  tidak  dapat dibuktikan  secara  empiris.  Para  penganut  faham  behaviorisme  menginginkan psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada  dan  terjadi  dalam  benda-benda  hidup  merupakan  akibat  dari  interaksinya dengan pengaruh-pengaruh tertentu.

Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu,  mereka anggap sebagai suatu peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan   waktu   untuk   mempelajarinya.   Adapun   berbagai   respon   dan tanggapan  yang  timbul  akibat  kegiatan  dalam  yang  dapat  diukur  dan  diamati, merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.

Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual.
Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama.

Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap perbuatan itu adalah bid'ah.

Awal  dari  segala  perbuatan  adalah  kegiatan  berfikir  dan  kognitif  dialam  sadar. Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan  mendalam  atau bertafakur sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam hal ini Al  Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai  dihati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan  mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti  pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan, dan yang  menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada  dzikir, karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV hal. 389)

Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu,  hati yang selalu merenung atau  bertafakkur tentang  ketinggian dan keagungan  Allah Swt,  serta memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar  dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan baiknya   dapat   segera   mengetahui   dan   menguasainya,   lalu   menghancurkan keberadaannya.   Seperti   anggota   badan   yang   sehat   dapat   menolak   dan menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.

Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan  tafakkur tentang keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga. Manakala  terlintas  sedikit  saja  niat  jelek  yang  mencoba  menghampirinya,  api kebaikan  akan  menghantamnya  atau  membakarnya,  seperti  lemparan  api  yang menjaga   langit   dari   intaian    syetan    yang   hendak   mencuri   pendengaran;
"sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was  dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan- kesalahannya" (QS 7:201)

Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia kedalam alam akhirat, dari alam  ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.

Berfikir  kadang   hanya  terbatas,  pada   upaya  memecahkan  masalah-masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.

Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang  mukmin.   Dr.  Malik  Badri,  ahli  psikoterapi   dari  Sudan  berpendapat, perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat, yang  disebut  istilah  "syuhud".  Diawali  dengan  pengetahuan  yang  didapat  dari 

persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan  rasional  yang  abstrak.  Sebagian  besar  pengetahuan  ini  tidak  ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.

Kalau  seseorang  memperdalam  cara  melihat  dan  mengamati  sisi  keindahan, kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya rapi,  pemandangannya  yang  indah.  Fase  ini  adalah  fase  kedua,  fase  tempat bergejolaknya  perasaan.  Kalau  dengan  perasaan  ini  ia  berpindah  menuju  sang pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif, pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa  mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran.  Akan tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.

Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang melakukan tafakkur.  Pada fase-fase ini  adakalanya orang hanya sampai kepada keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak
(ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.




Sarana - sarana Tafakkur

Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulang- ulang suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra) memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.

Pada  mulanya  tafakkur,  meditasi  transendental  berlaku  universal,  pengalaman- pengalaman serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang  dilakukan dalam meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia harus  kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa"  yang ia pilih sebagai  obyek pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga  hari demi hari meditasi dan  berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah
,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang  mukmin  akan  mudah  menemukan  cara  meditasi  semacam  ini,  karena metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang  disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha  tak terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan patung, irama musik, roh suci,  mantra-mantra suci, dan membayangkan  wujud syekh atau guru  pembimbing spiritual.  tujuannya adalah upaya  melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.

Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata
(dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur bertasbih,  dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru  yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.

Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang.
"Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".

Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap dengan  pikiran  kepada  suatu   obyek  yang  diyakininya.   Serta  sensasi   yang mempengaruhi  terhadap  perilakunya.  Salah  satu  penelitian  yang  dilakukan  oleh Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada jenis  tahapan,  serta  kata-kata  yang  dijadikan  sarana  untuk  tafakkur,  jenis pengelompokan, suasana  yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan manfaatnya. (lampiran)


Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang dicapai   oleh   para   meditator.   Betapa   ia   sangat   teliti   dan   hati-hati   dalam mengungkapkan    "keadaan"    atau    suasana    yang    dialami    oleh    spiritualis, pengelompokan  dan  tahapan-tahapan  agar  menjadi  "catatan"  bagi  para  pemula didalam  menjalani  "laku  spiritual",  terutama  obyek  apa  yang  digunakan  dalam menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.

Islam  menempatkan  "Allah"  sebagai  obyek  yang  tak  terbandingkan  merupakan sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa yang bebas (ikhlas). Firman Allah :

"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)

Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan
Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya. 

"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga- Ku" (QS 89:27-30)

Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati, ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum terwujud".

Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha  illa hua ... tiada Tuhan kecuali Dia)  dia  yang  tak  terbandingkan  oleh  sesuatu.  Suatu  konsep  qur'ani  yang membedakan  dari  jalan  spiritual  manapun  dan  akan  terhindar  dari  jebakan kebisingan  intuisi  alam  materi,  yang  banyak  dipenuhi  'anak-anak  syetan'  yang menempati setiap ruang angkasa spiritual.

Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad" yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari ikatan segala macam alam).

Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:

"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)

"Kalaulah syetan-syetan itu tidak  berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)

Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena alam di bawah,  seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan, dan  getaran  gelombang-gelombang  pendek,  yang  dihembuskan  syetan  dan  jin. Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.

Firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa  apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan- kesalahannya" (QS 7:201)

"Syetan-syetan itu  tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para  malaikat (alam yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)

"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan Allah" (QS 16:99-100)

Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu adalah  wilayah  syetan  dan  anak  cucunya  yang  siap  menerkam  jiwa-jiwa  yang
tersesat.  Maka  jangan  heran  banyak  ahli  dzikir  yang  menyimpang  seakan  ia mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan syariat Allah).

Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.

Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru,  wasilah rasul, dan mantra- mantra, untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai kepada   Allah   yang   maha   mutlak,   sebab   bayangan   sesuatu   hanya   akan menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi, kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan sekedar kata-kata yang tidak mempunyai  makna, seperti para  meditator  ketika memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantra- mantra suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomena- fenomena kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini masih termasuk dunia syahwat.

Selama  ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.

Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan kecil antara Allah dan syetan:


Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?

Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.

Allah berfirman: maka keluarlah  kamu dari  syurga, sesungguhnya kamu adalah orang  yang  terkutuk.  Sesungguhnya  kutukan-Ku  tetap  atas  kamu  sampai  hari pembalasan.

Iblis berkata: Ya Tuhanku beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan. Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)

Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)
Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)

Pada  bab  berikutnya  saya  akan  mengajak  anda  membuka  cakrawala  meditasi dengan melatih mental spiritual.  Salah  satunya adalah shalat, yang merupakan sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.

Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap artikel, mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalo menurut mu gimana...?