PENEGASAN PATRAP PERTAMA part2


Pada abad ke 9  Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan makrifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah   ditemukan,   baik   yang   berupa   berupa   syair   ataupun   pemikiran   yang menunjukkan  keanekaragaman  kemungkinan  dalam  kehidupan  mistik,   seperti halnya Al Ghazaly, Dzun Nun  (859 M), Bayezid Bistami (874 M),  dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).

Pemikiran  dan peranan para tokoh inilah  yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis  dibahas,  karena  pihak-pihak  yang  berbeda  pendapat  tidak  pernah  saling bertemu  untuk  memberikan  klarifikasi  dalam  satu  majelis,  kecuali  hanya  saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak lama.

Banyak kisah keshalehan serta kata-kata bijak penuh hikmah yang mengisi setiap referensi kitab-kitab  keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para tokoh Sufi ini, baik yang bisa difahami oleh kaum awam sampai pernyataannya yang banyak mengundang perdebatan yang tidak henti-hentinya sampai sekarang.

Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang populer yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj " Akulah kebenaran Yang Tertinggi ". Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan olah kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri  dari  perbuatan  maksyiat.  Sehingga  pada  ujungnya  berpengaruh  terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi mandek.

Terlihat para mufassirin agak ragu-ragu  menafsirkan kata-kata  hiperbolis kedalam pengertian proporsi yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan makrifat. Mereka mengira ilmu tasawuf adalah ajaran sesat dan membahayakan. Saya menganggap pandangan mereka terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Pandangan yang mengakibatkan ajaran Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual yang seharusnya diajarkan telah hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang mestinya  paling  dianggap  menentukan  dalam  kaitan  diterima  atau  ditolaknya perilaku keagamaan seseorang.

Saya terkesan dengan pandangan Yahya,  seorang Sufi yang shaleh menanggapi pernyataan  orang  Yang  menganggap  dirinya  Tuhan  dengan  doa  dalam  bentuk dialektis :

Oh Allah , kau telah mengirim  Musa dan Harun ke Fir'aun si pemberontak dan berkata, "  berbicaralah baik-baik dengannya" , Oh Allah , inilah kebaikan hati-Mu terhadap  orang  yang  menganggap  dirinya  Tuhan;   bagaimana  pula  gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya ? …Oh Allah, ada takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap pada-Mu karena kaulah Tuan
! Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut padaMu karena Kau Maha Kuasa ? Oh
Allah , bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah? ( Dimensi Mistik dalam Islam, Annemarie Schimmel hlm,53 )
Sebagai  tokoh  yang  tiada  hentinya  dibicarakan  di  dunia  mistik  Islam  maupun dikalangan yang memusuhinya, Al Husain ibnu Mansur Al Hallaj pada tahun 922 M dijatuhi  hukuman  mati  oleh  para  wakil  kaum  ahli  hukum  karena  ajaran  yang disebarkannya,  yang  dianggap  telah  keluar  dari  aqidah  Islam  -yang  terutama- berasal dari ucapannya yang terkenal, Ana 'l Haqq ( Akulah kebenaran Tertinggi ). Pro dan kontra dari jatuhnya hukuman  tersebut -sampai sekarang- masih juga terjadi, namun  demikian saya  memiliki  alasan sendiri mengapa tokoh ini masih pantas  dibahas pada sebuah  telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada ditempat lain.

Sejak lama, terutama karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, kita tahu dengan pasti bahwa para saudagarlah yang berperan dalam  ekspansi agama Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, dipantai Barat Laut  semenanjung  India.  Daerah  tersebut  mempunyai  hubungan  yang  khusus dengan Al  Hallaj, dimana  dia sendiri membawa agama Islam kesana dan  bahkan berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Bahwa konteks itu memang cukup luas jangkauannya terbukti oleh kenyataan, bahwa sebagian  dari kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Mansuri, sedangkan makam Al Hallaj di Bagdad tetap didatangi oleh orang-orang Gujarat. ( Massignon, Hallaj, halm.85 ,).

Saya kira tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau  karena banyak memainkan peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia dari pada di tempat lain, terutama di Jawa dan Aceh.  Kita bisa melihat baik tersirat maupun tersurat, dalam ajaran sinkretisme Jawa terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula Gusti, yang berakar dari ajaran Mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Tharikat Naqsabandiyah  yang  dianut  oleh  Pujangga  besar  Raden  Ngabehi  Ranggawarsita dalam kitabnya Serat Wirid  Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan sumber paham pantheisme.

Syekh Siti Jenar juga  mengalami  nasib tragis ketika harus menghadapi hukuman mati  yang dijatuhkan penguasa Demak  yang didukung penuh oleh  Dewan Agama yang dipimpin wali Songo, karena dianggap telah membuka tabir rahasia ketuhanan dalam  dirinya,  yaitu  manuggaling  kawula  Gusti.  Jika  Al  hallaj  tewas  dipancung kepalanya,  Syekh Siti Jenar memilih sendiri  cara untuk mati (  DR. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hal 51 ).

Bagaimana penilaian dunia Islam terhadap Al hallaj ??

Banyak pendapat umum yang mengatakan Al hallaj  mati karena ajaran mistiknya yang  terkenal  Ana'l  Haqq  (Akulah  Kebenaran  Tertinggi  ).  Tidak  banyak  kaum muslimin yang mengetahui dengan persis  apakah sebenarnya yang terjadi terjadi terhadap kasus yang  didakwakan kepadanya. Benarkah Al hallaj penganut faham ittihad (pantheisme) yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik katholik, atau ajaran Zanadika, tentang cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik  material  antara  sumber  cahaya  dan  percikan-percikan  yang  mengalir  dari sumber itu (emanasi).
Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang berpendapat, bahwa kesalahan Al Hallaj  ialah menyiarkan dimuka umum  kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut selubung rahasia). Konon kabarnya As Sibli mengatakan kepada seorang  utusan menjelang  eksekusinya,  pergilah  mencari  Al  Husein  ibnu  Mansur  dan  katakan kepadanya, "Allah telah memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu rahasia -Nya , tetapi karena engkau menyiarkan  kepada umum, maka kau harus merasakan pedang" :( Massignon Hallaj, hal.310 ).

Ada  yang  berpendapat,  bahwa  ajarannya  mengenai  manunggalnya  Allah  dan manusia tidak dibenarkan,  namun dapat  dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis (Massignon, hallaj, hlm.352, dikutip dalam buku Manunggaling kawula Gusti P.J Zoetmulder, Gramedia,  Jakarta 1990). Sementara para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak  atas kejadian ini. Mereka hanya berpendapat bahwa Al Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thaha: 14, innani Ana Allah laailaha illah Ana fa'budni …sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.

Sedangkan Al ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan, bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berada pada tingkat "ADA" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolah- olah dan ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga hendaknya  kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan,  akibat kemabukan cinta kasih (dalam Ihya' ulumuddin, bagian II kitab adabi s sama'I wa 'l wajdi , fi atari 's sama'I adabihi)

Saya tidak ingin masuk kedalam kesimpulan terlalu dini, karena banyak sekali ayat- ayat  Alqur'an  yang  dijadikan  landasan  oleh  para  sufi  sebenarnya  mengandung makna hiperbolis; sehingga kalau diungkapkan sekilas,  kita akan terjebak kepada pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah berikut ini: innahu bikulli syaiin muhithun, Sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu
( Fushilat:54); selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahnya ( Qasas: 88 ); juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Qaaf:
16 ); falam taqtuluuhum  walakin 'l allaha  qatalahum  wama ramaita idza ramaita walakin 'l allaha rama, Maka ( yang  sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang  membunuh mereka, dan bukan kamu  yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar ( Al anfaal : 17 ).

DB Mac Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis, memang  tak  dapat  disangkal.  Perkembangan  seterusnya  membuktikan,  bahwa peluang itu memang ada. Banyak mufassir takut terjebak kepada makna hiperbolis atau  mutasyabihat,  sehingga  mereka  tidak  berani   menterjemahkan  arti  yang sebenarnya.seperti dalam surat Fushilat:54  Bahwa yang meliputi  segala sesuatu adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua ( Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada "wujud"(Hua )  tempat bergantungnya (sandaran)  sifat. Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat- Nya,  akan  tetapi  wujud  secara  sempurna  (bikamalaatihi).  Yaitu  kesempurnaan
meliputi  Dzat,  sifat,  af'al  dan  Asma'.   Dhommir  Hua  menunjukkan  "Wujud", sedangkan  sifat,  af'al  dan  Asma  merupakan  diluar  Diri-Nya  (wujudnya)  tetapi bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzat (sosok). Beberapa Mufassir menterjemahkan :"kekuasaan-Nya lah meliputi segala sesuatu", ada  juga yang menterjemahkan : "ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan banyak  lagi terjemahan / tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya. Hanya ulama' yang memiliki ilmu makrifat kepada Allah yang berani terang-terangan menterjemahkan : "DIA (Dzat) Meliputi Segala Sesuatu", sehingga kata DIA tidak ditafsirkan kedalam makna atau digantikan dengan bentuk yang  lainnya. Saya berprasangka, kemungkinan besar para Mufassir ragu-ragu menterjemahkan kalimat hiperbolis, karena dikhawatirkan memasuki wilayah konflik politik yang sedang marak masa itu, yaitu adanya perintah penguasa melarang pandangan Wihdatul Wujud yang di gagas oleh Al Hallaj.

Ali Ash shabuni menafsirkan, innahu bikulli  syai in muhith; Sesungguhnya Allah Ta'ala Meliputi Segala Sesuatu dengan pengetahuannya (ilmu-Nya), baik secara global maupun tafshila ( mendetail ) : tafsir Shafwatut tafaasir: Juz III hlm. 129. Lebih tegas lagi Syekh Nawawi memberikan keterangan dalam tafsir Al munir, Allah merupakan Subjek Yang Meliputi Segala Sesuatu, Dia sebagai fail (subjek) Al 'alimu yang mengetahui semua ma'lumat yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui yang dhahir dan yang tersembunyi dalam diri  orang-orang  kafir. Sedangkan penafsiran beliau mengenai wanahnu aqrabu ilaihi  min  hablil waridi ( Qaaf: 16). Fa ka anna dzatuhu ta'ala qaribatun minhu ..yaitu seolah Dzat itu sendiri yang lebih dekat dari urat leher.( hal 243 Juz III , tafsir shafwatut tafaasir, Ali as shabuni). Didalam tafsier Munir karangan Syekh Nawawi dijabarkan fallahu ta'ala aqrabu ilal insaani  min
'uruqihi almukhalithi lahu, Allah lebih dekat terhadap Manusia daripada keringatnya yang bercampur baginya. ( hal 319).

Kemudian,  baik syekh Nawawi maupun Ali Ash shabuni menafsirkan kullu syaiin halikun illa wajhahu, sebagai Segala sesuatu pada hakikatnya adalah fana (binasa) kecuali Dzat-Nya Yang Kekal dan Quddus. Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa  kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep qurani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam paham
penyatuan atau pantheisme.Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh- pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon (massignon, Essai,  hlm  84)  perkembangan  tersebut   ada  akarnya  dalam  Alqur'an  sendiri, sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena kontak  dengan  aliran-aliran  mistik  kristen  di  Suria  serta  Neoplatonisme,  atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri Ali  dan  para  pengikutnya  (menurut  DB  Mac  Donald,  Development  of  Mouslem Theology, Jurisprudence and constitional theory, hal 182), atau karena pengaruh dari India, (menurut M Horten, dalam indische stromungen in der inslamischen Mystik, Heidelberg 1928) , tulisan ini dikutip dalam buku pantheisme dan monisme dalam sastra suluk Jawa hlm 21. PJ, Zoetmulder,Gramedia , Jakarta 1990).

Dalam ajaran Tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman kerohaniannya melalui tahapan (martabat)  untuk mencari Tuhannya, yang  biasa dikenal dengan  ajaran martabat tujuh. Diharapkan  ajaran ini bisa membantu  memberikan petunjuk bagi kita untuk  meluruskan pemahaman tauhid dan menguak tabir rahasia para sufi dalam menyelami ekstasis, yang  terkadang  menimbulkan polemik dan absurditas, yaitu menempatkan Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan ( asy syura:  11) dan  tidak  ada  individuasi  maupun  presepsi.  Prinsip  ini  didasari  ayat  yang menyatakan Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya ( Al qashash: 88 ).
Didalam  penghayatan  mistisnya,  para  sufi  menafikan  segala  sesuatu  termasuk dirinya sendiri; sehingga muncul kesadaran "Yang wajib ada adalah Yang Mutlak", laa  maujuda  illallah.  Sebenarnya  hal  ini  merupakan  prinsip  monotheisme,  yang dibawa oleh Rasulullah saw dalam misinya, yaitu menafikan segala bentuk  tuhan- tuhan selain Allah, " laa ilaha illallah"  …..  pada hakikatnya segala sesuatu  akan binasa (fana) kecuali wajah-Nya yang tetap abadi (baqa) , kullu man alaiha faanin, wayabqaa wajhu rabbika dzul jalaalil wal ikraam ( Ar rahman: 26-27).

Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri ajaran Al hallaj dengan CARA tidak serta merta menerima atau menolaknya; karena  kita membutuhkan pemahaman  yang jernih akan hal ini. Sekilas memang ayat-ayat tersebut diatas banyak mengarah kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katholik oleh karena itu saya akan mencoba memaparkan ajaran-ajaran mengenai penyatuan diri dengan Tuhan agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasulullah dalam meluruskan tauhid kepada Dzat Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan kristen dengan monotheisme yang berasal dari Alqur'an.

Di dalam Al qur'an telah di ungkapkan bagaimana kaum musyrik melontarkan alasan yang dijadikan prinsip, bahwa berhala-berhala bukanlah Tuhan  yang sebenarnya sebagai sesembahan, melainkan hanya sebagai perantara (washilah) untuk menuju Yang Maha Mutlak.

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik ). dan orang- orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah mereka  (berhala)  melainkan  supaya  mereka  mendekatkan  kami  kepada  Allah dengan sedekat-dekatnya". ( QS. Az zumar : 3 )

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada  mereka : " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" ,  niscaya mereka menjawab; " Allah".  Katakanlah : " Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan   kemudharatan    kepadaku,   apakah    berhala-berhala   itu   dapat menghilangkan  kemudharatan  itu,  atau  jika  Allah   hendak  memberi  rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya ?..( QS. Az zumar: 38 ) Berhadapan dengan berbagai macam pendapat tadi, mari kita kaji uraian sekitar ajaran Al hallaj yang telah dipaparkan oleh Massignon dalam kajian Al Hallaj , hlm
352. dalam buku Manunggaling Kawula Gusti , PJ. Zoetmulder , hlm 38,39 )

Al Hallaj mencari kesatuan dengan Allah  bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata yang  diwariskan  -spontan-  berasal  dari   perasaan  pribadinya.  Al  Hallaj   ingin menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan itu  kepada  orang-orang  lain,  sehingga  dalam  kajian  terhadap  ajaran  Al  Hallaj hendaknya  kita juga mencari keterangan mengenai ucapan-ucapan emosionalnya, yang kalau dipandang dari luar konteksnya, mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan pantheistis. Di sini pertama-tama saya teringat akan ucapan-ucapannya mengenai Allah,  dengan  mempergunakan  kata  ganti  pertama,  seperti   konon  kabarnya diucapkannya dalam malam terakhir sebelum ia menjalani hukumannya.
 
"Adapun Engkau membagikan kepada saksi ini (Al  Hallaj sendiri) kepribadian-Mu sendiri dan kodrat ilahiMu. Bagaimana ini  dapat terjadi karena Engkaulah  (yang memegang peranan dari kodratku sendiri untuk menampakkan  Diri-Mu di tengah- tengah manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku- bila Engkau telah datang kedalamnya untuk menampakkan kodratku ( Engkau, Ya Tuhan ) lewat kodratKu ) (
mulai kalimat ini Al hallaj berbicara atas nama Tuhan dan mempergunakan kata ganti  pertama  guna   mengungkapkan  penyatuan  mesra  dengan  Tuhan.  Saya berusaha menyatakan peralihan itu dengan menulis awal kata positif dengan huruf- huruf besar: catatan dari Massignon ) Serta mempermaklumkan kenyataan ilmuKu dan mukjizatKu- sambil mengangkat DiriKu, dalam kenaikanKu, sampai tahta-tahta kelanggenganKu, sambil memelihara DiriKu dalam ciptaan-ciptaanKu: Bagaimana bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan kedalam penjara , diserahkan kepada  maut,  ditempatkan  diatas  kayu  salib,  dibakar,  lalu  debuku  diserahkan kepada ombak-ombak ( Massignon, 297,298 )

Dalam membicarakan Al  Hallaj, penting untuk dibahas sosok Beyazid Al  Bustami, seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik dari pengalaman bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman Mi'rajnya Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh  dengan makna, bahwa alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan Beyazid, yang mencatat sejumlah besar  ungkapan-ungkapannya, pernah bertanya tentang pengingkaran terhadap dunia (zuhud) dan sang paman menjawab:

"Pengingkaran  (  Zuhud)  itu  tak  ada  nilainya.  Tiga  hari  lamanya  aku  dalam pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari dunia  ini,  hari  kedua  kuingkari  akhirat,  hari  ketiga  kuingkari  segalanya  kecuali Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku telah mencapai damba yang menyakitkan . kemudian ada suara menyeruku : O, Abu Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku sendiri. Kujawab : itulah memang   yang   hamba   inginkan.   Kemudian   suara   itu   berkata   :   kau   telah menemukannya, kau telah menemukannya !!"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalo menurut mu gimana...?