suatu yang kamu sukai belum tentu baik untukmu, dan suatu yang kamu benci belum tentu buruk untukmu
PENEGASAN PATRAP PERTAMA part3
Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhanpun mengenalnya sebelum ia mengenal Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah mencapai tujuannya :
"Ia segera bangkit dan menaruhku di hadapan-Nya dan kata-Nya kepadaku : "O Beyazid, makhluk-makhlukku sangat ingin memandangmu, dan aku pun berkata: Hiasi hamba dengan kesatuan-Mu dan dandani hamba dengan ke- AKU-an Mu dan angkatlah hamba ke Keesaan-Mu sehingga, kalau makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah menyaksikan-Mu, dan Kaulah itu dan hamba tidak lagi berada di hadapan mereka itu."
Beyazid, dalam keadaan ekstase (fana ) berkata : "Subhani, Subhani - Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha Suci Aku." Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki bagi kaum mistik pada zaman kemudian dan telah sering menjadi inspirasi bagi penyair mistik dalam menggambarkan kesempurnaan perjalanan kerohanian seseorang, disamping banyak sekali orang yang mengecam dan mengkafirkan Beyazid. Sebagian kalangan sufi moderat, yaitu Sarraj mengganggap perkataan Beyazid seolah-olah membaca sabda dalam Qur'an "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain AKU, Innani Ana 'Allah, laailaha illa Ana (QS. Taha:14)."
Beyazid mencapai keadaan ini melalui 'negationis' yang gigih, dengan menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai ia mencapai - walaupun hanya sesaat-, keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih, dan cinta menjadi
satu. Kenyataan yang dialami Beyazid di kritik oleh Mansur Al Hallaj yang berkata, bahwa Abu Yazid yang merana itu baru sampai diambang ilahi saja, karena ia tidak mampu melepaskan dirinya dari ketiadaan.
Para sarjana Barat banyak yang tertarik dengan ajaran Al hallaj karena dianggap bisa mewakili kelangsungan kebenaran ajaran kristus didalam penyatuan dengan Allah atau pantheisme. Seorang sarjana ahli teologi protestan dari Jerman bernama F.A.D. Tholuck menyebut Al hallaj adalah sufi yang paling terkenal karena ketenarannya dan nasibnya, yang menguak cadar di depan umum dengan keberaniannya yang luar biasa. Kutipan Tholuck pada waktu itu dieja dan ditafsirkan keliru sehingga citra Hallaj sungguh menjadi rusak pada zaman-zaman berikutnya. ( Friedrich August Deofidus Tholuck, Sufismus sive theosophia persarum pantheistica , Berlin, 1972 hlm 68. dalam buku dimensi mistik dalam Islam, annemarie schimmel hlm 64 ) Tholuck menganggap Al Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke 19. Mereka telah menemukan beberapa naskah dalam kitab- kitab yang ditulis oleh Al Hallaj yang menunjukkan arah kepada pantheisme.
Pandangan lain adalah ada yang menganggap Al Hallaj sebagai seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir itu muncul pada akhir abad ke 19, diajukan August Muller dan tetap di ikuti oleh beberapa sarjana. Para orietalis lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada , cenderung menyebutnya seorang 'monism' murni. Alfred von Kremer berusaha mencari sumber Hallaj yang terkenal Anal Haqq dalam sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan aham brahmasmi dalam upanishad , dan beberapa sarjana lain menyetujuinya.
Reynold A Nicholson mempunyai pandangan, bahwa Mansur Al Hallaj menekankan monotheisme keras dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung itu dengan teologi Kristen.
Louis Massignon telah berhasil mengumpulkan data-data tentang Al Hallaj dari lingkungan tempat dia berasal dan pengaruh-pengaruh atas Hallaj telah dijelajahi, sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak paradoks yang tersimpan didalamnya, kecuali oleh orang yang memiliki kecerdasan kerohanian yang tinggi. Ajaran yang ditulis dalam buku tersebut berbentuk sajak, mengungkapkan keagungan Tuhan dan imanensi-Nya dalam hati manusia. Rahasia penyatuan cinta dipuja dalam sajak-sajak yang bebas dari segala lambang cinta
'profane'. Massignon menyelidiki dunia rohani Al Hallaj secara terus-menerus, menambahkan hal-hal kecil dalam catatannya, dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah biografi monumental syuhada mistik tersebut pada tahun 1922; seribu tahun setelah hukuman mati terhadap Al hallaj. Nyatanya, Hallaj seperti yang dikatakan Hans Heinrich Schaender dalam resensinya atas buku Massignon, adalah syuhada Islam par exelence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari keshalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan akibat cinta sempurna dan makna mendapatkan kesucian pribadi macam apapun, akan tetapi agar bisa mengabarkan rahasia ini, harus hidup di dalamnya dan mati untuknya. Seperti pengorbanan Yesus Kristus dalam penebusan dosa ummatnya.
Siapakah orang ini sebenarnya, yang telah menjadi bahan kebencian dan cinta, contoh penderitaan, raja bid'ah dalam tulisan-tulisan ortodoks (salafi), tokoh idaman para sufi yang terpesona ??
Fana bukan Pantheisme
Kesimpulan yang diungkapkan oleh para sarjana Barat (Orientalis), bahwa ajaran Al hallaj adalah phanteisme, masih mengundang pertanyaan yang belum tuntas. Para peneliti itu memaparkan ajaran Al hallaj melalui data-data dalam prosa, bukan melalui perjalanan ekstasisnya, dan kemudian membandingkan dengan ajaran trinitas dalam Kristen atau dalam kesatuan aham brahmasmi dalam upanishad. Saya menganggap kesimpulan ini hanyalah merupakan cara mereka untuk meminjam peristiwa yang terjadi agar sama persis dengan eksekusi yang dilakukan terhadap Yesus Kristus. Hal ini terlihat sekali dalam uraian Louis Massignon sendiri, yang masih banyak melibatkan emosi kepercayaannya (doktrin keimanan) sebagai orang kristen, dan bukan sebagai peneliti murni, sehingga kesimpulannya sangat mempengaruhi hasil penelitiannya.
Ungkapan-ungkapan Al Hallaj dalam prosa tidak bisa disimpulkan dalam bahasa formal, karena ungkapan itu merupakan pengalaman 'transcendental'. Sebagaimana ayat-ayat Al- Qur'an sering menggunakan kalimat mutasyabihat untuk mengungkapkan kedalaman makna hakikat, ketika bahasa manusia tidak lagi mampu mengungkap rahasia. Didalam kitab At Tawasin termuat anekdot sufi yang pada akhirnya menghebohkan dunia, yaitu pernyataan Al Hallaj yang kontroversial.
Ketika ia mengetuk pintu Junayd, sang Guru bertanya : Siapakah itu ? dan ia menjawab : Ana 'l Haqq - Akulah kebenaran Mutlak (kreatif), Akulah kenyataan Yang benar.
Pada bab itu Al Hallaj menjelaskan mengenai kesadaran Aku Yang Mutlak dibandingkan dengan kesadaran yang diucapkan Fir'aun dan Iblis. Menurut Al- Qur'an, Fir'aun menegaskan, Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi (Surat An Naziat:
24), dan Iblis berkata, " Aku lebih baik daripada Adam (Surat Al A'raaf: 12). Kemudian Al Hallaj menegaskan pernyataannya, Akulah Kebenaran Mutlak".
Pada bagian ini para sufi merenungkan mengenai ke-Aku-an dirinya, tatkala ia menafikan segala sesuatu, yang wajib ada ialah AKU, ketika merenungkan ayat kullu syaiin halikun illa wajhahu, segala sesuatu pada hakikatnya tidak ada (binasa) kecuali wujud-Nya yang kekal. Para mistisi merenungkan dalam-dalam perkara adanya dua Aku yang berbeda, yakni Aku Fir'aun dan Aku ahli mistik yang
bercinta. Kesimpulannya diberikan dalam wahyu ilahi bahwa, Fir'aun hanya melihat dirinya sendiri dan kehilangan AKU, sedangkan Husain hanya melihat AKU sehingga kehilangan dirinya sendiri. Aku penguasa Mesir itu ( Fir'aun) merupakan pernyataan kekafiran, sedangkan Aku Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan. inilah alasan Al Hallaj mengapa ia berkata Akulah kebenaran.
Apapun alasan pernyataan Ana'l Haqq itu, Junayd -salah seorang guru Al Hallaj- telah menyatakan sikapnya terhadap bekas pengikutnya tersebut, dengan menuduh telah menyebarluaskan pernyataan religius yang berbahaya.
Disisi lain, Al Hallaj mempunyai pandangan lain dari pernyataan Beyazid yang juga menyatakan AKU pada kalimat "Maha Suci Aku" (Subhani), dan menganggap Beyazid sebagai orang yang menipu, karena dia baru berada diambang ilahiyah saja
. Beyazid tidak layak mengucapkan kalimat suci tersebut, karena ia masih ada dan merasakan keadaan mabok mistik (syakr), ia belum lenyap (fana). Hal inipun diakuinya sendiri oleh Beyazid : Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya sama sekali itu hanyalah tipuan hayalan belaka.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Mathnawi, Rumi mengisahkan legenda tentang pengikut-pengikut Beyazid yang memberontak gurunya ketika si guru itu berkata : Dibalik jubahku ini tak ada apapun selain Allah !!
Terlebih dahulu marilah kita mencoba untuk memahami maksud ketiadaan (fana), sehingga memahami mengapa Al Hallaj begitu yakin, bahwa Beyazid belum sampai kepada taraf tertinggi.
Seorang sufi besar Abu Bakar al Kharraz ( 899 M ) dikenal di Barat lewat karyanya " kitab As-Sidq" - kitab kebenaran, yang diterjemahkan oleh Arberry. (Abu Bakr al Kharraz, kitab as sidq, the book of Truthfulness, diedit dan diterjemahkan oleh A.J . Arberry (Oxford, 1937) mengungkapkan bahwa hanya Allah yang berhak berkata " AKU", sebab siapapun yang mengatakan " Aku" tak akan bisa mencapai taraf makrifat. Itulah sebabnya iblis dihukum, karena berkata ' Aku lebih baik dari Adam ". Lebih jauh Kharraz menunjukkan bahwa " Aku" ilahy ini secara ontologis terkait dengan Nama Ilahi Al Haqq; "Kenyataan" inilah tampaknya yang menjadi inti ungkapan terkenal Hallaj Ana 'l Haqq.
Apakah Al Hallaj benar-benar mengungkapkan Ana 'l Haqq pada saat keadaan ekstase (syathathat) atau hanya merupakan pengajaran di dalam Majelis, sebab dalam kritiknya terhadap Beyazid, beliau mengatakan "Kasihan Beyazid, ia merana karena ia tidak mampu meninggalkan dirinya (fana), ia baru sampai di ambang ilahi. Orang yang fana dirinya tidak akan berkata " AKU" sebab ia telah tiada."
Didalam kitab yang berjudul Raitullah "Aku melihat Allah" karya ulama sufi yang terkenal Syekh An nafiri, diungkapkan mengenai Bab " AKU" :
"Tidak akan diucapkan kalimat AKU, kecuali bagi orang yang berkawan dengan kealpaan dan oleh setiap orang terhijab oleh hakikat."
"Engkau berani mengatakan AKU, sedangkan engkau masih terhijab dari pada-KU, gemerlap duniawi masih mengusik nafsumu, masing-masing akan menyambar dirimu dengan seruan zat dirinya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam dari pada-Ku. Maka apabila engkau telah melihat " Aku" dan Aku - pun telah menampakkan diri dihadapanmu, tetaplah keteguhanmu, maka tiada Aku lagi melainkan AKU." (diri manusia akan hancur atau binasa, sebagaimana peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa surah Al A'raaf: 143 ).
"Telah Kuciptakan (kuadakan) untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara lain tujuan itu ialah, cintamu kepada dirimu sendiri, itulah tetesan waham (kalimat) yang engkau warisi, kata-kata mu " Aku" adalah egomu sendiri (Aku terlepas anggapan dari yang demikian) dan tidak lain zat itu melainkan kepunyaan-Ku, dan tidak lain Aku itu kecuali untuk-Ku, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat prasangka, hal ini disebabkan karena caramu sendiri berfikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa dan persoalan."
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah
dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran Al Hallaj :
Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau ke utara, keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa mejelajah ke Mekkah dan Madinah."
Menurut Siti Jennar selanjutnya, "Dirinya bukanlah budi, bukan angan-angan hati, bukan pula fikiran yang sadar, niat, udara, angin, panas, atau kekosongan dan kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah, yang membusuk bercampur tanah dan debu. Nafasnyalah yang mengililingi dunia, meresap dalam tanah, api, air dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru dan bukan yang asli. Hakikat dirinya dipandangnya sebagai dzat yang sejiwa dan menyuksma di dalam Hyang Widi."
Bagi Siti Jennar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat Jalal dan Jamal yaitu Maha Mulia dan Maha Indah. Siti Jennar tidak mau mengerjakan shalat karena kehendaknya sendiri, karena itu ia juga tidak memerintahkan siapapun untuk shalat, baginya orang shalat karena budhinya sendiri yang memerintahkan shalat. Namun budi itu juga bisa menjadi budi yang laknat dan mencelakakan, yang tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri.
Inilah yang katakan oleh Al Junayd dan Syekh An Nafiri, bahwa baik Beyazid, Siti Jennar ataupun Al Hallaj (??), telah terhijab oleh dirinya. Tatkala mereka mencari Tuhan di mana, ternyata hanya dirinya yang ada; ketika ia melambung jauh keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada , di atas ada, di bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana ada. Yang ada tetap yang langgeng dan kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj ambang ilahi) bukan fana. Keadaan inilah yang dianggap bersatu (ittihad) atau manunggaling kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran vedanta disebut tat twam asi .
Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat Al Junayd, mengenai pernyataan "Aku" yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau tahu bahwa Al Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa, ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur
(fana) bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya, bahwa AKU tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa
digambarkan oleh presepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri; dalam Alqur'an Musa digambarkan pingsan ) AKU mengenali diri-Nya secara sempurna. Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan kristen, yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.
Al Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai berikut :
"Tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis- habisnya. Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan memutuskan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian."
Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme)
dan manunggal ( pantheisme ) sangatlah berbeda .
Pantheisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Harun Hadiwiyono sebagai berikut:
Bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Zat Mutlak. Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya
(kodok kinemulan ing lenge) Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri :
Sedangkan Fana (monotheisme ) adalah seperti ungkapan Al Junayd :
Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu
(Al Qashash, 28 : 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram ( Ar rahman, 55 : 26-27) Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan), karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tak seorangpun dapat meraihnya, nabi-nabipun tidak
(termasuk Nabi Musa). Para malaikat yang berdiri dekat Allah-pun tidak dapat meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikatnya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada. Hanya Dialah Yang Ada dan nama-Nya ialah wujud makal, zat langgeng, hakikat segala hakikat, adanya ialah kesepian (kosong). Siapakah gerangan yang tahu akan tahap ini. ??? Barang siapa mengatakan mengetahui zat yang sejati, dia telah tersesat .
Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan
dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun Nabi Musa, maka ia berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya : uqtuluni ya thiqati - inna qatli hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku.
Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo yang memenggal kepalanya.
Didalam kitab Jati Murti diuraikan mengenai kenyataan (hakikat) yang tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (laisa kamistlihi syaiun, surah Asy syura, 42 : 11). Sebagai berikut :
Kesejatian itu sangat luas, tidak bisa di kira-kira besar luasnya, tidak bisa dicapai di dalam hati, tidak bisa ditemui diseluruh jagad raya, sebab didalam kesejatian
(hakikat) mempunyai arah yang disebut lahir dan bathin. Segala alam (jirim) berada disisi luar kesejatian (hakikat), yaitu diantara lahir dan bathin, itu arah yang tidak bisa direka-reka oleh pikiran dan perasaan manusia.
Karena kesejatian (hakikat) itu bersemayam dalam bathinnya alam atau badan yang berada dialam, maka kesejatian tidak membutuhkan alam untuk bersemayam, malahan berada dalam segala trmpat (berada di mana-mana), seperti keberadaannya benda terhadap permukaan, atau seperti keberadaannya permukaan terhadap garis. Jadi seandainya keadaan hakikat dibentengi besi yang amat rapat, seperti halnya tempurung kemiri, tetap masih lebih luas (leluasa) sekali serta tidak berpengaruh apapun.
Ibarat orang menggambar seekor kuda dengan sebuah pensil. Bentuk seekor kuda yang dikelilingi dengan goresan (garis) bekas pensil, seperti tampaknya pensil tadi yang berada di kulit kuda.
Kesejatian tidak terpengaruh sama sekali, sebab bukan benda. Yang bersemayam dalam kesejatian, yaitu : Saya, maksudnya : Pribadi = AKU, Innani Ana Allah, laailaha illa ANA, sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali AKU, berada berjajar dengan segala kejadian, yaitu yang diakui oleh makhluk seisi alam semesta, tempat bergantungnya segala sesuatu (Allahush shamad ), rabbul `alamin, Rabb alam semesta.
Sesungguhnya keadaan hakikat (sejati ) tidak bisa diperbandingkan dengan segala sesuatu yang ada pada keadaan alam-alam, sebab bukan tandingannya. Jika memaksakan untuk membayangkan, maka ibarat batu dibandingkan dengan warna yang ada pada permukaan batu tersebut, atau seperti satu meter persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu perasaan manusia (sarana yang dipakai untuk membayangkan atau mengukur) bukanlah rasa yang sejati. Jika perasaan manusia dibandingkan dengan perasaan sejati (keadaan hakikat), kejadiannya seperti halnya warna yang ada pada permukaan, sebuah benda dibandingkan dengan benda yang menyatu yang memiliki permukaan tadi. atau dapat diumpamakan seperti halnya wayang yang sedang dimainkan oleh dalang,
dibandingkan dengan dalang yang sedang menjalankan wayang tersebut. Menurut dalang : Perilaku wayang itu pada hakikatnya tidak ada, yang ada adalah perilaku si dalang tersebut, tanpa ada perbandingan (tandingan).
Sebagaimana firman Allah:
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah- lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al Anfaal, 8:17 ) Pendek kata manusia sebenarnya hanya "diam"(fana). Diamnya dapat diumpamakan : Salah satu perilaku wayang berhenti, tidak dimainkan lagi oleh dalang, maka
yang ada tinggal perilaku dalang, si wayang tidak tahu apa-apa lagi, penglihatannya tidak ada, pendengarannya tidak ada, perasaannya tidak ada, kekuatannya tidak ada, hidupnya tidak ada, kesadarannya tidak ada, maka dirinyapun tidak ada seperti pada mulanya sebelum diciptakan. Sekarang si wayang tidak tahu apa-apa, yang tahu adalah tinggal AKU yang sejati yang meliputi segala sesuatu. Si wayang kembali kepada asal muasalnya, yaitu dari tidak ada menjadi ada lalu tidak ada, inilah hakikat innalillahi wainna ilaihi rajiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali. Jadi manusia hanya diam saja (lenyap tanpa memiliki presepsi apa-apa) itulah layaknya manusia yang masuk kedalam kesejatian
(hakikat), dan masuknya kealam kesejatian melalui proses penyucian dari anggapan
( dhzan, presepsi), artinya Allah suci dari anggapan pikiran dan rekayasa hati manusia (dhzan); suci dan hilangnya sifat kemanusiaan oleh kekuatan yang menganggap dengan I'tikat yang kuat, ia menganggap kekuatan itu adalah dirinya sendiri; akan tetapi semuanya itu milik Allah dan harus kembali kepada-Nya.
Bukan manuggaling kawula Gusti seperti anggapan Siti Jennar, yang terpengaruh oleh ajaran Vedanta, yang mendorong ke perluasan Atman "inti diri", sampai si inti diri itu menyadari kesatuannya dengan hakikat segala sesuatu seperti yang dinyatakan dalam ungkapan tat twam asi, itulah engkau !!
Karena hakikat itu tidak bisa dibandingkan dengan apa-apa (alam yang bukan sejati), maka keadaannya tidak ada perbandingan seperti suka dan duka, senang dan benci, bosan dan betah. Karena tanpa pemilahan, maka tidak ada hitungan dan bilangan.Yang dimaksud dengan istilah tanpa hitungan maknanya ialah : Tidak ada jumlahnya, karena jika dikatakan satu maka satu itu membutuhkan tandingan adanya dua, tiga , empat dan seterusnya. Memang kebiasaan kita menyebut dia itu Tunggal (satu), tetapi bukan berarti satu seperti penyebutan untuk sebuah benda, satu jeruk, satu mobil. Untuk jelasnya, maka penyebutannya seharusnya sebagai berikut : tidak ada apa-apa kecuali hanya ada: "Pribadi".
Bobotnya sudah disebut demikian, maksudnya adalah : tidak ada apa-apa kecuali hanya - walaupun menurut alam jirim bukanlah suatu hal yang aneh, namun menurut keadaan hakiki hal tersebut menjadi aneh. Anehnya adalah mengapa mesti diomongkan sebagai : Tidak ada apa-apa kecuali ….. apa sebabnya ?? itu ibarat orang berkata : air itu tidak ada yang bukan air, atau jagad segala jagad ya tetap segala jagad .
Oleh karena tidak ada pemilahan dan bilangan, maka maksud istilah "gusti dan kawula berada dalam keadaan sejati" juga menjadi aneh. Anehnya kenapa ada perbandingan , yaitu kawula dibandingkan dengan gusti, seperti halnya kuda dibandingkan dengan warnanya, atau gelang dibandingkan dengan emas yang dipakai untuk membuat gelang tersebut. Warna itu ya warna kuda, bukan semestinya dibandingkan dengan yang memiliki warna tersebut, sebab warna itu
tidak akan ada (tampak ) kalau tidak ada kuda (yang memiliki warna), bukan wujud yang sebenarnya, akan tetapi wujud yang sebenarnya adalah kuda itu sendiri. Gelang itu terbuat dari emas, gelang dengan emas itu berbeda, gelang merupakan kejadian yang terbuat dari emas. Emas merupakan wujud yang sebenarnya, sedangkan gelang adalah kejadian (ciptaan) yang tetap tergantung kepada bahan emas tadi, sehingga gelang itu diliputi oleh emas
PENEGASAN PATRAP PERTAMA part2
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang
kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan
Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai
kesempurnaan makrifat dan
tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa
berupa
syair ataupun pemikiran yang
menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik,
seperti
halnya Al Ghazaly,
Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami
(874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan
Husein Ibn Mansur
Al hallaj
(858 M).
Pemikiran dan peranan
para tokoh inilah yang
perlu kita ketahui sebagai
wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis
dibahas, karena pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majelis,
kecuali hanya saling
mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan
licik sejak lama.
Banyak kisah keshalehan serta kata-kata bijak penuh hikmah yang mengisi setiap referensi kitab-kitab
keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para tokoh Sufi ini, baik yang bisa difahami oleh kaum awam sampai pernyataannya yang banyak mengundang perdebatan yang tidak
henti-hentinya
sampai sekarang.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan
yang populer yang di lontarkan
oleh Husein Ibnu Al Hallaj " Akulah kebenaran Yang Tertinggi ". Peristiwa ini merubah pandangan
masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan olah kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan
diri dari perbuatan maksyiat. Sehingga
pada ujungnya
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang
menjadi
mandek.
Terlihat para mufassirin agak ragu-ragu menafsirkan kata-kata hiperbolis kedalam
pengertian proporsi
yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut
apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan makrifat. Mereka mengira ilmu
tasawuf adalah ajaran sesat dan membahayakan. Saya menganggap pandangan
mereka terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Pandangan yang mengakibatkan ajaran Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual yang seharusnya diajarkan telah hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang
mestinya paling dianggap
menentukan dalam kaitan diterima
atau ditolaknya perilaku keagamaan seseorang.
Saya terkesan dengan pandangan Yahya, seorang Sufi yang shaleh menanggapi pernyataan orang Yang menganggap dirinya Tuhan dengan doa dalam bentuk
dialektis :
Oh Allah , kau telah mengirim Musa dan Harun ke Fir'aun
si pemberontak dan berkata, " berbicaralah baik-baik dengannya" , Oh Allah , inilah kebaikan hati-Mu terhadap
orang yang menganggap dirinya Tuhan; bagaimana pula gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya ? …Oh Allah, ada
takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap pada-Mu karena kaulah Tuan
! …Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut padaMu karena
Kau Maha Kuasa ? Oh
Allah , bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah? ( Dimensi Mistik dalam
Islam, Annemarie
Schimmel
hlm,53 )
Sebagai tokoh yang tiada hentinya dibicarakan di dunia mistik Islam maupun dikalangan yang memusuhinya, Al Husain ibnu Mansur Al Hallaj pada tahun 922 M dijatuhi hukuman mati oleh para wakil kaum ahli hukum karena ajaran yang
disebarkannya, yang dianggap telah keluar dari aqidah Islam -yang terutama- berasal
dari ucapannya yang terkenal, Ana 'l Haqq ( Akulah kebenaran
Tertinggi ). Pro dan kontra dari jatuhnya hukuman tersebut -sampai sekarang- masih juga
terjadi, namun
demikian saya memiliki
alasan sendiri
mengapa tokoh ini masih
pantas dibahas pada sebuah
telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya
lebih banyak berpengaruh
terhadap Islam di Indonesia
dari pada ditempat lain.
Sejak lama, terutama
karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, kita
tahu dengan pasti bahwa para saudagarlah yang berperan dalam
ekspansi
agama Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, dipantai Barat
Laut semenanjung India. Daerah tersebut mempunyai hubungan yang khusus dengan Al Hallaj, dimana
dia sendiri membawa agama Islam kesana dan
bahkan berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Bahwa konteks
itu memang cukup luas jangkauannya terbukti oleh kenyataan,
bahwa sebagian dari kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Mansuri, sedangkan makam Al Hallaj di Bagdad tetap didatangi oleh orang-orang
Gujarat. ( Massignon,
Hallaj, halm.85 ,).
Saya kira tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau karena banyak memainkan
peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia dari pada di tempat lain, terutama
di Jawa dan Aceh. Kita bisa melihat baik tersirat maupun tersurat, dalam ajaran
sinkretisme Jawa terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula Gusti, yang berakar dari ajaran Mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Tharikat Naqsabandiyah yang dianut oleh Pujangga
besar Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam kitabnya Serat Wirid Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan
sumber paham pantheisme.
Syekh Siti Jenar juga mengalami nasib tragis ketika harus menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan penguasa Demak yang didukung penuh oleh Dewan Agama yang dipimpin wali Songo, karena dianggap telah membuka tabir rahasia ketuhanan dalam dirinya, yaitu
manuggaling kawula Gusti. Jika Al hallaj
tewas dipancung kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara untuk mati ( DR. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran Dan Jalan Kematian
Syekh Siti Jenar, hal 51 ).
Bagaimana penilaian dunia Islam
terhadap Al hallaj ??
Banyak pendapat umum yang mengatakan Al hallaj mati karena ajaran mistiknya yang terkenal Ana'l
Haqq (Akulah Kebenaran Tertinggi ). Tidak banyak kaum muslimin yang mengetahui dengan persis
apakah sebenarnya yang terjadi
terjadi terhadap kasus yang didakwakan kepadanya. Benarkah Al hallaj penganut faham ittihad (pantheisme) yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik katholik, atau
ajaran Zanadika, tentang
cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik material antara sumber cahaya dan
percikan-percikan yang mengalir dari sumber itu (emanasi).
Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang berpendapat, bahwa kesalahan Al
Hallaj ialah menyiarkan dimuka umum
kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut selubung rahasia). Konon kabarnya As Sibli mengatakan kepada seorang
utusan menjelang eksekusinya, pergilah mencari Al Husein ibnu Mansur dan katakan
kepadanya, "Allah telah memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu rahasia -Nya , tetapi karena engkau menyiarkan kepada
umum, maka kau harus merasakan
pedang" :( Massignon Hallaj, hal.310
).
Ada yang berpendapat, bahwa ajarannya mengenai manunggalnya Allah dan manusia tidak dibenarkan,
namun dapat dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis (Massignon, hallaj, hlm.352,
dikutip dalam buku Manunggaling kawula Gusti P.J Zoetmulder, Gramedia, Jakarta 1990). Sementara para
sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak
atas kejadian
ini. Mereka hanya berpendapat bahwa Al Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thaha: 14, innani Ana Allah laailaha illah Ana fa'budni …sesungguhnya Aku ini
adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah Shalat
untuk
mengingat Aku.
Sedangkan Al ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan, bahwa ekstasis
itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan
dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan
antara dua pihak yang berada pada tingkat "ADA" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolah- olah dan ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga
hendaknya kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan,
akibat kemabukan cinta kasih (dalam Ihya' ulumuddin, bagian II kitab adabi s sama'I wa 'l
wajdi , fi atari
's sama'I
adabihi)
Saya tidak ingin masuk kedalam kesimpulan terlalu dini, karena banyak sekali ayat-
ayat
Alqur'an yang dijadikan landasan oleh para sufi sebenarnya mengandung
makna hiperbolis; sehingga
kalau diungkapkan sekilas,
kita akan terjebak
kepada pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah berikut
ini: innahu bikulli syaiin
muhithun,
Sesungguhnya Dia
Maha
Meliputi Segala
Sesuatu
( Fushilat:54); selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu
pasti binasa, kecuali wajahnya
( Qasas: 88 ); juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Qaaf:
16 ); falam taqtuluuhum
walakin 'l allaha qatalahum wama ramaita idza ramaita walakin 'l allaha rama, Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar
( Al anfaal : 17 ).
DB Mac Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis, memang tak dapat
disangkal. Perkembangan seterusnya membuktikan, bahwa
peluang itu memang ada. Banyak mufassir
takut terjebak kepada makna hiperbolis atau mutasyabihat,
sehingga mereka tidak berani
menterjemahkan arti yang sebenarnya.seperti dalam surat Fushilat:54
Bahwa yang meliputi segala sesuatu
adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua ( Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada "wujud"(Hua ) tempat bergantungnya (sandaran)
sifat. Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat-
Nya, akan tetapi wujud secara sempurna (bikamalaatihi). Yaitu kesempurnaan
meliputi Dzat, sifat, af'al dan Asma'. Dhommir Hua menunjukkan "Wujud",
sedangkan sifat, af'al dan Asma merupakan
diluar Diri-Nya (wujudnya) tetapi bergantung kepada
Diri-Nya, karena adanya disebabkan
oleh Dzat (sosok). Beberapa Mufassir menterjemahkan :"kekuasaan-Nya
lah meliputi segala sesuatu", ada
juga yang
menterjemahkan : "ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan banyak lagi terjemahan / tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya. Hanya ulama' yang memiliki ilmu makrifat kepada Allah yang berani terang-terangan menterjemahkan
: "DIA (Dzat) Meliputi Segala Sesuatu", sehingga kata DIA tidak ditafsirkan kedalam makna atau digantikan dengan bentuk yang
lainnya. Saya berprasangka, kemungkinan besar para Mufassir ragu-ragu menterjemahkan kalimat hiperbolis, karena dikhawatirkan memasuki wilayah konflik politik yang sedang marak masa itu, yaitu adanya perintah penguasa melarang
pandangan Wihdatul Wujud yang
di gagas oleh Al Hallaj.
Ali Ash shabuni menafsirkan, innahu bikulli
syai in muhith; Sesungguhnya Allah Ta'ala Meliputi Segala Sesuatu dengan pengetahuannya (ilmu-Nya), baik secara global maupun tafshila
( mendetail ) : tafsir Shafwatut tafaasir: Juz III hlm. 129. Lebih tegas lagi Syekh Nawawi memberikan keterangan dalam tafsir Al munir, Allah merupakan Subjek Yang Meliputi Segala Sesuatu, Dia sebagai fail (subjek) Al 'alimu
yang mengetahui semua ma'lumat yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui
yang dhahir dan yang tersembunyi dalam diri
orang-orang kafir. Sedangkan
penafsiran beliau mengenai wanahnu aqrabu ilaihi
min hablil waridi ( Qaaf: 16). Fa ka anna
dzatuhu ta'ala qaribatun minhu ..yaitu seolah Dzat itu sendiri yang lebih dekat dari urat leher.( hal 243 Juz III , tafsir shafwatut
tafaasir, Ali as shabuni). Didalam tafsier Munir karangan
Syekh Nawawi dijabarkan fallahu ta'ala aqrabu ilal insaani
min
'uruqihi almukhalithi lahu, Allah lebih dekat
terhadap Manusia daripada keringatnya
yang
bercampur baginya. ( hal
319).
Kemudian,
baik syekh Nawawi maupun Ali Ash shabuni menafsirkan kullu syaiin halikun illa wajhahu, sebagai Segala sesuatu pada hakikatnya
adalah fana (binasa)
kecuali Dzat-Nya Yang Kekal dan Quddus. Dari pendapat
tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep qurani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam
paham
penyatuan atau pantheisme.Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh-
pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon (massignon,
Essai, hlm 84) perkembangan tersebut
ada akarnya
dalam Alqur'an
sendiri,
sedangkan menurut
sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena
kontak dengan aliran-aliran mistik kristen di Suria serta Neoplatonisme, atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya
mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri Ali dan para pengikutnya (menurut DB Mac Donald, Development of Mouslem Theology,
Jurisprudence and constitional
theory, hal 182), atau karena pengaruh dari India, (menurut M Horten, dalam indische stromungen in der inslamischen Mystik,
Heidelberg 1928) , tulisan
ini dikutip dalam buku pantheisme
dan monisme dalam sastra suluk Jawa hlm 21. PJ,
Zoetmulder,Gramedia , Jakarta 1990).
Dalam ajaran Tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman
kerohaniannya melalui
tahapan (martabat)
untuk mencari Tuhannya, yang biasa dikenal dengan
ajaran martabat tujuh. Diharapkan
ajaran ini bisa membantu
memberikan
petunjuk bagi kita untuk
meluruskan pemahaman
tauhid dan menguak tabir rahasia para sufi dalam menyelami ekstasis, yang
terkadang menimbulkan polemik dan absurditas,
yaitu menempatkan Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan ( asy syura:
11) dan tidak ada individuasi maupun presepsi. Prinsip ini didasari ayat yang
menyatakan Segala sesuatu
akan
binasa kecuali wajah-Nya
( Al
qashash: 88 ).
Didalam penghayatan mistisnya, para sufi menafikan segala
sesuatu
termasuk
dirinya sendiri; sehingga muncul kesadaran "Yang
wajib ada adalah Yang Mutlak", laa maujuda illallah.
Sebenarnya hal ini merupakan prinsip monotheisme, yang dibawa oleh Rasulullah saw dalam misinya, yaitu menafikan segala bentuk tuhan- tuhan selain Allah, "
laa ilaha illallah" ….. pada hakikatnya segala sesuatu
akan binasa (fana) kecuali wajah-Nya yang tetap abadi (baqa) , kullu man alaiha faanin, wayabqaa wajhu rabbika
dzul
jalaalil
wal
ikraam
( Ar
rahman: 26-27).
Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri ajaran Al hallaj dengan CARA tidak serta merta menerima atau menolaknya; karena
kita membutuhkan pemahaman
yang jernih akan hal ini. Sekilas memang ayat-ayat tersebut diatas banyak mengarah
kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katholik oleh karena itu
saya akan mencoba memaparkan ajaran-ajaran mengenai penyatuan
diri dengan Tuhan agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasulullah dalam meluruskan tauhid kepada Dzat Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan kristen dengan monotheisme yang berasal dari Alqur'an.
Di dalam Al qur'an telah di ungkapkan bagaimana kaum musyrik melontarkan alasan yang dijadikan prinsip, bahwa berhala-berhala bukanlah Tuhan yang sebenarnya sebagai sesembahan, melainkan hanya sebagai perantara
(washilah) untuk menuju Yang
Maha Mutlak.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik ). dan orang-
orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah mereka (berhala) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya".
( QS.
Az zumar :
3 )
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : " Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" , niscaya mereka menjawab;
" Allah".
Katakanlah : " Maka
terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak
mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhala itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat
menahan rahmat-Nya ?
…..( QS. Az zumar:
38 ) Berhadapan dengan berbagai macam pendapat tadi, mari kita kaji uraian sekitar
ajaran Al hallaj yang telah dipaparkan
oleh Massignon dalam kajian Al Hallaj , hlm
352. dalam buku Manunggaling Kawula Gusti
, PJ.
Zoetmulder , hlm 38,39 )
Al Hallaj mencari kesatuan dengan Allah
bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata
yang diwariskan -spontan- berasal dari
perasaan pribadinya. Al Hallaj
ingin
menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan
itu kepada orang-orang lain, sehingga dalam kajian terhadap ajaran Al Hallaj
hendaknya kita juga mencari keterangan
mengenai ucapan-ucapan emosionalnya,
yang kalau dipandang
dari luar konteksnya,
mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan
pantheistis. Di sini pertama-tama saya teringat
akan ucapan-ucapannya mengenai
Allah, dengan mempergunakan kata ganti pertama, seperti
konon kabarnya diucapkannya dalam malam terakhir
sebelum ia menjalani
hukumannya.
"Adapun Engkau membagikan kepada saksi ini (Al Hallaj sendiri) kepribadian-Mu sendiri dan kodrat ilahiMu. Bagaimana ini
dapat terjadi karena Engkaulah
(yang
memegang peranan dari kodratku
sendiri untuk menampakkan Diri-Mu di tengah- tengah manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku- bila Engkau telah datang kedalamnya untuk menampakkan kodratku ( Engkau, Ya Tuhan ) lewat kodratKu ) (
mulai kalimat ini Al hallaj berbicara atas nama Tuhan dan mempergunakan kata ganti pertama
guna mengungkapkan penyatuan mesra dengan Tuhan. Saya
berusaha menyatakan peralihan itu dengan menulis awal kata positif dengan huruf-
huruf besar: catatan
dari Massignon ) Serta mempermaklumkan kenyataan
ilmuKu dan mukjizatKu- sambil mengangkat DiriKu, dalam kenaikanKu, sampai tahta-tahta kelanggenganKu, sambil memelihara DiriKu dalam ciptaan-ciptaanKu: Bagaimana
bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan kedalam penjara , diserahkan kepada maut, ditempatkan diatas kayu salib, dibakar, lalu debuku diserahkan
kepada ombak-ombak ( Massignon, 297,298 )
Dalam membicarakan Al Hallaj, penting
untuk dibahas sosok Beyazid
Al Bustami, seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik dari pengalaman
bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman
Mi'rajnya Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh dengan makna, bahwa alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan
Beyazid, yang mencatat
sejumlah besar
ungkapan-ungkapannya, pernah bertanya tentang pengingkaran terhadap dunia (zuhud) dan sang
paman
menjawab:
"Pengingkaran ( Zuhud) itu tak ada nilainya. Tiga hari lamanya aku dalam
pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari dunia ini, hari kedua kuingkari
akhirat, hari ketiga kuingkari segalanya kecuali Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku telah mencapai damba yang menyakitkan .
kemudian ada suara menyeruku : O, Abu Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku
sendiri. Kujawab : itulah memang
yang hamba inginkan.
Kemudian suara itu berkata : kau
telah menemukannya, kau telah
menemukannya !!"
Langganan:
Postingan (Atom)